pentingnya selembar ijazah
Upaya
pendidikan untuk terus melanjutkan tujuannya yakni menciptakan generasi muda yang berprestasi dan berpengetahuan
terlihat berjalan dengan lancar. Banyak masyarakat Indonesia yang telah mengeyam
bangku sekolah dengan keadaan yang apa adanya. Maksudnya, pendidikan yang
terjadi di Indonesia berlangsung secara apik dengan tatanan yang telah disetting oleh para petinggi-pentinggi Depdiknas
seperti sekolah kejar paket B,paket C dan sekolah yang berada di bawah kolong
jembatan. Pendidikan yang dipandang sebagai salah satu jalan menuju pada apa
yang disebut sebagai masyarakat terdidik, tidak saja dapat diperoleh didalam
pendidikan formal yang terikat oleh ruang dan waktu. Tetapi juga diperoleh dari
pendidikan informal, yang mana dapat diketahui kefektifannya dalam menyerap
sebuah relaitas yang ada di masyarakat. Hal ini dikarenakan pendidikan informal
tidak terikat oleh ruang dan waktu seperti halnya pendidikan formal. Dengan
pendidikan yang berjalan seiringan dengan lakunya kaki melangkah, terkadang
individu mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada pengetahuan yang diajarkan
pada pendidikan formal.
Pendidikan
informal yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar berkembang berdasarkan habitus yang telah terkontruksi dalam
setiap pikiran individu. Dengan pendidikan, manusia memperoleh pelajaran
tentang pengenalan huruf-huruf abjad yang kemudian dirangkai dengan hasil
sebuah kalimat jadi yang dapat dibaca dan dimaknai oleh si pembaca. Di sekolah
dasar, para peserta didik diajarkan bagaimana caranya membaca dan merangkai
sebuah kalimat dan angka-angka dengan cara pengoperasiannya. Pelajaran membaca
merupakan dasar atau awal seseorang mengenal dan mengetahui ilmu pengetahuan
dengan membaca dan seisi dunia. Jenjang tingkat pendidikan selanjutnya yang
harus ditempuh adalah SMP, SMA dan PT (Perguruan Tinggi). Tetapi untuk menuju
kesana dibutuhkan dana yang lebih besar daripada tingkat pendidikan yang berada
di jenjang bawah seperti TK dan SD. Biasanya masyarakat yang berada pada
kalangan bawah atau terpinggir tidak memanfaatkan TK sebagai tempat pengenalan
pendidikan yang pertama kepada anak-anaknya. Alasan klasik yang selalu
diutarakan para masyarakat yang berada di kalangan terpinggir atau kalangan
bawah ini adalah biaya. Diposisi mereka, biaya atau uang dimaknai layaknya emas
yang harus dicari di sebuah tambang yang keberadaannya belum dapat ditenntukan
oleh penglihatan kasat mata. Mereka harus menyuling dulu agar terlihat ada atau
tidak keberadaan emas. Hal ini lah yang selalu dijadikan suatu benturan,
mengapa mereka tidak menyekolahkan anak-anak mereka. “ biaya buat makan saja
susah kok, mikirin harus sekolah”, pernyataan yang sering kali terdengar di
masyarakat. Bukan bagaimana hari ini dan esok makan tetapi apa yang dimakan
hari ini.
Perjuangan akan pendidikan
Sebuah
kondisi yang berbeda dengan keadaan yang dialami kalangan atas yangmana dapat
leluasa memilih apa yang dimakan hari ini dan mau sekolah dimana sudah
terperinci didalam angan-angan mereka. Tanpa berpikir untuk bercapek-capek ria
mencari biaya lagi, karena biaya tersebut telah tersedia atau telah disediakan
oleh orang tua mereka. Lingkungan yang demikian ini yang membedakan habitus mereka. Ketimpangan sosial yang terjadi dalam
masyarakat telah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh kolonial belanda
ataupun pada masa kerajaan lalu.
Pendidikan yang dipandang sebagai tahap untuk menuju kemajuan hidup dimasa
depan, mengiming-iming masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk bekal
bersaing di masa yang akan datang. Masyarakat yang tidak dapat bertahan dalam
kondisi sosial yang memaksakan mereka dalam posisi yang terlema, sebagian besar
dari masyarakat dalam kalangan bawah lebih memilih untuk “bekerja” mencari uang
yang dipakai untuk membeli makanan ala kadarnya. Dalam posisi yang demikian,
mereka ( masyarakat kalangan bawah) menilai pendidikan sebagai sesuatu yang
berharga dalam hidupnya. Karena penempuhan pendidikan yang penuh dengan
perjuangan, terkadang dapat sedikit melemahkan mereka untuk berhenti
berjuang dan berharap.
Habitus telah mengkonstruk mereka bahwa pendidikan kurang
cocok untuk mereka. Arena yang ada disekitar mereka bukan mengajak mereka untuk
bagaimana menempuh pendidikan tetapi bagaimana untuk bekerja membantu orang tua
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam benak mereka tidak terlintas
sedikit harapan untuk lebih maju, karena yang mereka tahu hanya dengan membantu
orang tua mereka bekerja, mereka akan mendapatkan uang sekedar membeli beras
ataupun lauk. Masyarakat dalam kalangan ini biasanya terdapat dalam satu daerah
yang mana didalamnya terjadi interaksi sosial yang secara acak ataupun
kebetulan memiliki nasib yang sama. Dalam kehidupan sosial yang demikian,
terjadi interaksi antarstruktur dan tindakan agen yang saling mempengaruhi.
Agen biasanya bergerak atau bertindak dalam kebiasaan. Kebiasaan itu menjadikan
agen dalam bertindak merasa ada di dalam dunia sosialnya. Seorang pelajar,
sebagai pelajar, menghasilkan atau mendapatkan prestasinya dengan mengasah
kemampuannya dengan belajar pengetahuan dan menguasai materi yang ada dalam
pelajaran sekolah. Dengan kata lain, agen bertindak sesuai dengan naluri
mereka. Dalam bahasa Bourdieu, tindakan ini dibimbing oleh “ perasaan akan
permainan”. “perasaan akan permainan” diperoleh lewat penguasaan akan
pengalaman bermain dan yang bekerja diluar kontrol dan alam sadar mereka.
Pengalaman
bermain dilakukan saat mereka memaknai sebuah kehidupan dengan segala cara
berperilaku dan bersikap serta menatap kehidupan yang akan datang yang
dipengaruhi oleh arena yang kemudian terbentuklah sebuah konsep atau
gambaran-gambaran tentang bagaimana lakunya kehidupan. Konsep inilah yang
dinamakan sebagai habitus. Dalam habitus yang dibangun oleh masyarakat
kalangan bawah, pendidikan dan sekolah berada pada nomor kedua. Dan bekerja
mencari sesuap nasilah yang berada pada urutan pertama dalam kehidupan sosial
mereka. Dunia sosial merupakan tempat dimana terjadi sebuah praktik sosial.
( Habitus x Modal ) + arena = praktik
Pierre
Bourdieu mengemukakan rumus generatifnya mengenai praktik sosial dengan
persamaan ( habitus x Modal ) + arena = praktik. Rumus tersebut dapat di
jawab dengan kondisi yang telah ada pada masayarakat kalangan bawah tentang
proses pendidikan yang mereka tempuh. Ada sedikit ide untuk bersekolah agar
masa depannya lebih baik daripada orangtua mereka dan dengan sedikit biaya pula
yang mereka punyai untuk menempuh segalanya, yang mana arena atau lingkungan
yang kurang mendukung juga menjadi sebuah pembelajaran. Dimana masyarakat dalam
kalangan bawah tidak wajib untuk menempuh pendidikan karena itu sudah termasuk
takdir ILLAHI. Hasilnya, mereka yang memiliki tekad dan niat yang kuat untuk
bersekolah menempuh pendidikan, berjuang sendiri dalam membiayai sekolahnya.
Dan untuk mereka yang masih goyah angannya akan pendidikan dengan yang dimaknai
sebagai tempat penghamburan uang melebur menjadi angan yang hanya terbayang.
Karena mereka lebih memilih mencari uang untuk kehidupannya tanpa dibekali
pengetahuan yang didasari atas proses pendidikan.
Sebagai
masyarakat marginal atau terpinggirkan, masyarakat yang berada pada kalangan
bawah atau biasa disebut dengan kata orang-orang miskin ini hanya memiliki modal budaya yang didapatnya
dari warisan kelluarga atau keseluruhan kualifikasi intelaktual yang diproduksi
secara formal. Tercakup dalam modal ini biasanya mengeanai misalnya, cara
berbicara, cara pembawaan, tatakrama atau sopan santun dan cara bergaul yang
berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Meskipun
demikian, mereka juga mempunyasi sedikit modal ekonomi yang hanya dapat
menopang kehidupannya untuk makan sehari-hari dari hasil bekerja mereka serta
modal simbolik yang hanya berupa rumah sederhana. Mungkin tanah yang dipakai
bukan tanah milik sendiri alias milik orang lain atau bahkan milik pemerintah.
Padahal, dengan modal simbolik tidak lepas dari apa yang dinamakan dengan
kekuasaan (power).
Dengan
kekuasaan memungkinkan mereka untuk mendapatkan kesetaraaan dengan apa yang
diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi mereka. Namun, hal itu tidak di
dapat oleh orang-orang yang berada pada kalangan bawah. Sedikitnya modal yang
mereka miliki, mengantarkan mereka pada penindasan secara tidak langsung oleh
kalangan yang berada diatas mereka. Penindasan terjadi akibat modal, arena dan
habitus yang mereka miliki tidak ada perubahan yang maju. Tidak ada usaha untuk
mengubah mereka menjadi terdidik. Artinya, pertama, dengan pendidikan mereka
dapat membaca. Dengan membaca meminimalkan mereka untuk dapat ditipu oleh orang
lain. Kedua, dengan pendidikan mereka dapat belajar angka-angka atau berhitung,
meski setiap harinya mereka juga berhitung dalam mencari uang.
Ketiga,
mereka mendapatkan pengetahuan yang lebih dari pengetahuan yang mereka dapat
dari lingkungan dan jalannan yang menemani mereka sehari-hari. Sehingga, dengan
kemampuan yang telah diperoleh dari hasil proses belajar lewat lembaga
pendidikan mereka mendapatkan selembar ijazah yang dapat digunakan untuk
melamar pekerjaan yang layak. Meskipun setiap pekerjaan diakumulasikan dengan
tingkat atau jenjang pendidikan yang ditempuh.
Pendidikan gratis 9 tahun
Banyak
reklame yang dipasang pada papan reklame yang sedikit mengkampanyekan
“pendidikan gartis 9 tahun dan itu hukumnya wajib”. Memang benar, pendidikan
pada tingkat SD ( sekolah Dasar ) dan SMP ( sekolah menengah Pertama ) biaya
yang dinamakan dengan SPP atau BP3 atau biaya bulanan tidak ada.
Namun,
hal tersebut bukan berarti meringankan dan berhasil mengajak mereka yang tidak
memiliki biaya langsung tertarik untuk mendaftarkan diri sebagai calon peserta
didik. Mereka yang lagi-lagi terbentur oleh biaya atau uang. Harus memikirkan
lagi bagaimana dengan seragam sekolah, peralatan sekolah, uang jajan dan
lain-lain yang berkaitan dengan urusan sekolah. Semua pikiran tersita oleh
bayangan akan biaya sekolah yang mahal. Sedikit meringankan, mungkin itu tepat
untuk program pemerintah ini. Setiap
orang memiliki ketahanan mental yang berbeda-beda. Hal ini terbentuk oleh
habitus keluarga dan arena. Kekebalan mental yang kuat sedikit banyak akan membawa mereka pada perubahan
lewat pendidikan. Dengan menempuh pendidikan mereka tetap bisa makan, asalkan
mereka dapat membagi waktu untuk belajar dan makan. Memperjuangkan pendidikan
untuk dirinya sendiri. Terlihat sulit memang untuk mengatur tenaga dan pikiran.
Karena tenaga dan pikiran akan saling mempengaruhi dalam keadaan apapun.
Zaman
modern memperbudak setiap orang akan uang, pendidikan yang seharusnya dapat
ditempuh dengan biaya yang relatif murah dan dapat dijangkau oleh semua
kalangan masyarakat, nyatanya tidak bisa. Ada kalangan masyarakat yang
termaginalkan oleh keadaan yang sulit untuk mereka mendapatkan pendidikan yang
layak. Dan untuk mendapatkan ijazah SD yang notabene ijazah tersebut, sekarang
tidak dapat digunakan tanpa disertai kemampuan khusus/ ketrampilan yang
dimiliki oleh seseorang. Menjadi sulit didapat karena biaya yang mahal. Untuk
dapat bersekolah saja, mereka sudah bersyukur. Meminjam istilah dari Giddens, Ruang dan waktu mereka yang telah disita
oleh sekolah dan bekerja, meminimkan mereka untuk dapat mengulas kembali
pelajaran yang telah didapat di sekolah. Kadang pula, mereka mengatuk dalam
proses belajar mengajar disekolah karena kecapekan bekerja serta budaya membaca
yang tidak dikenal dalam kalangan bawah. Sehingga daya serap akan pelajaran
yang mereka miliki sangat kurang. Pendukung-pendukung untuk memperlancar
pendidikan kembali pada biaya atau uang. Semakin tinggi tingkat pendidikan,
semakin mahal pula biayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar