Selasa, 01 Januari 2013

pendidikan tanpa makna, ijazah yang berguna!


pentingnya selembar ijazah
Upaya pendidikan untuk terus melanjutkan tujuannya yakni menciptakan generasi  muda yang berprestasi dan berpengetahuan terlihat berjalan dengan lancar. Banyak masyarakat Indonesia yang telah mengeyam bangku sekolah dengan keadaan yang apa adanya. Maksudnya, pendidikan yang terjadi di Indonesia berlangsung secara apik dengan tatanan yang telah disetting oleh para petinggi-pentinggi Depdiknas seperti sekolah kejar paket B,paket C dan sekolah yang berada di bawah kolong jembatan. Pendidikan yang dipandang sebagai salah satu jalan menuju pada apa yang disebut sebagai masyarakat terdidik, tidak saja dapat diperoleh didalam pendidikan formal yang terikat oleh ruang dan waktu. Tetapi juga diperoleh dari pendidikan informal, yang mana dapat diketahui kefektifannya dalam menyerap sebuah relaitas yang ada di masyarakat. Hal ini dikarenakan pendidikan informal tidak terikat oleh ruang dan waktu seperti halnya pendidikan formal. Dengan pendidikan yang berjalan seiringan dengan lakunya kaki melangkah, terkadang individu mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada pengetahuan yang diajarkan pada pendidikan formal.
Pendidikan informal yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar berkembang berdasarkan habitus yang telah terkontruksi dalam setiap pikiran individu. Dengan pendidikan, manusia memperoleh pelajaran tentang pengenalan huruf-huruf abjad yang kemudian dirangkai dengan hasil sebuah kalimat jadi yang dapat dibaca dan dimaknai oleh si pembaca. Di sekolah dasar, para peserta didik diajarkan bagaimana caranya membaca dan merangkai sebuah kalimat dan angka-angka dengan cara pengoperasiannya. Pelajaran membaca merupakan dasar atau awal seseorang mengenal dan mengetahui ilmu pengetahuan dengan membaca dan seisi dunia. Jenjang tingkat pendidikan selanjutnya yang harus ditempuh adalah SMP, SMA dan PT (Perguruan Tinggi). Tetapi untuk menuju kesana dibutuhkan dana yang lebih besar daripada tingkat pendidikan yang berada di jenjang bawah seperti TK dan SD. Biasanya masyarakat yang berada pada kalangan bawah atau terpinggir tidak memanfaatkan TK sebagai tempat pengenalan pendidikan yang pertama kepada anak-anaknya. Alasan klasik yang selalu diutarakan para masyarakat yang berada di kalangan terpinggir atau kalangan bawah ini adalah biaya. Diposisi mereka, biaya atau uang dimaknai layaknya emas yang harus dicari di sebuah tambang yang keberadaannya belum dapat ditenntukan oleh penglihatan kasat mata. Mereka harus menyuling dulu agar terlihat ada atau tidak keberadaan emas. Hal ini lah yang selalu dijadikan suatu benturan, mengapa mereka tidak menyekolahkan anak-anak mereka. “ biaya buat makan saja susah kok, mikirin harus sekolah”, pernyataan yang sering kali terdengar di masyarakat. Bukan bagaimana hari ini dan esok makan tetapi apa yang dimakan hari ini.

Perjuangan akan pendidikan
Sebuah kondisi yang berbeda dengan keadaan yang dialami kalangan atas yangmana dapat leluasa memilih apa yang dimakan hari ini dan mau sekolah dimana sudah terperinci didalam angan-angan mereka. Tanpa berpikir untuk bercapek-capek ria mencari biaya lagi, karena biaya tersebut telah tersedia atau telah disediakan oleh orang tua mereka. Lingkungan yang demikian ini yang membedakan habitus  mereka. Ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat telah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh kolonial belanda ataupun pada  masa kerajaan lalu. Pendidikan yang dipandang sebagai tahap untuk menuju kemajuan hidup dimasa depan, mengiming-iming masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk bekal bersaing di masa yang akan datang. Masyarakat yang tidak dapat bertahan dalam kondisi sosial yang memaksakan mereka dalam posisi yang terlema, sebagian besar dari masyarakat dalam kalangan bawah lebih memilih untuk “bekerja” mencari uang yang dipakai untuk membeli makanan ala kadarnya. Dalam posisi yang demikian, mereka ( masyarakat kalangan bawah) menilai pendidikan sebagai sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Karena penempuhan pendidikan yang penuh dengan perjuangan, terkadang dapat sedikit melemahkan mereka untuk berhenti berjuang  dan berharap.
Habitus telah mengkonstruk mereka bahwa pendidikan kurang cocok untuk mereka. Arena yang ada disekitar mereka bukan mengajak mereka untuk bagaimana menempuh pendidikan tetapi bagaimana untuk bekerja membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam benak mereka tidak terlintas sedikit harapan untuk lebih maju, karena yang mereka tahu hanya dengan membantu orang tua mereka bekerja, mereka akan mendapatkan uang sekedar membeli beras ataupun lauk. Masyarakat dalam kalangan ini biasanya terdapat dalam satu daerah yang mana didalamnya terjadi interaksi sosial yang secara acak ataupun kebetulan memiliki nasib yang sama. Dalam kehidupan sosial yang demikian, terjadi interaksi antarstruktur dan tindakan agen yang saling mempengaruhi. Agen biasanya bergerak atau bertindak dalam kebiasaan. Kebiasaan itu menjadikan agen dalam bertindak merasa ada di dalam dunia sosialnya. Seorang pelajar, sebagai pelajar, menghasilkan atau mendapatkan prestasinya dengan mengasah kemampuannya dengan belajar pengetahuan dan menguasai materi yang ada dalam pelajaran sekolah. Dengan kata lain, agen bertindak sesuai dengan naluri mereka. Dalam bahasa Bourdieu, tindakan ini dibimbing oleh “ perasaan akan permainan”. “perasaan akan permainan” diperoleh lewat penguasaan akan pengalaman bermain  dan yang  bekerja diluar kontrol dan alam sadar mereka.
Pengalaman bermain dilakukan saat mereka memaknai sebuah kehidupan dengan segala cara berperilaku dan bersikap serta menatap kehidupan yang akan datang yang dipengaruhi oleh arena yang kemudian terbentuklah sebuah konsep atau gambaran-gambaran tentang bagaimana lakunya kehidupan. Konsep inilah yang dinamakan sebagai habitus. Dalam habitus yang dibangun oleh masyarakat kalangan bawah, pendidikan dan sekolah berada pada nomor kedua. Dan bekerja mencari sesuap nasilah yang berada pada urutan pertama dalam kehidupan sosial mereka. Dunia sosial merupakan tempat dimana terjadi sebuah praktik sosial.

 ( Habitus x Modal ) + arena = praktik
Pierre Bourdieu mengemukakan rumus generatifnya mengenai praktik sosial dengan persamaan ( habitus x Modal ) + arena = praktik. Rumus tersebut dapat di jawab dengan kondisi yang telah ada pada masayarakat kalangan bawah tentang proses pendidikan yang mereka tempuh. Ada sedikit ide untuk bersekolah agar masa depannya lebih baik daripada orangtua mereka dan dengan sedikit biaya pula yang mereka punyai untuk menempuh segalanya, yang mana arena atau lingkungan yang kurang mendukung juga menjadi sebuah pembelajaran. Dimana masyarakat dalam kalangan bawah tidak wajib untuk menempuh pendidikan karena itu sudah termasuk takdir ILLAHI. Hasilnya, mereka yang memiliki tekad dan niat yang kuat untuk bersekolah menempuh pendidikan, berjuang sendiri dalam membiayai sekolahnya. Dan untuk mereka yang masih goyah angannya akan pendidikan dengan yang dimaknai sebagai tempat penghamburan uang melebur menjadi angan yang hanya terbayang. Karena mereka lebih memilih mencari uang untuk kehidupannya tanpa dibekali pengetahuan yang didasari atas proses pendidikan.
Sebagai masyarakat marginal atau terpinggirkan, masyarakat yang berada pada kalangan bawah atau biasa disebut dengan kata orang-orang miskin ini  hanya memiliki modal budaya yang didapatnya dari warisan kelluarga atau keseluruhan kualifikasi intelaktual yang diproduksi secara formal. Tercakup dalam modal ini biasanya mengeanai misalnya, cara berbicara, cara pembawaan, tatakrama atau sopan santun dan cara bergaul yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Meskipun demikian, mereka juga mempunyasi sedikit modal ekonomi yang hanya dapat menopang kehidupannya untuk makan sehari-hari dari hasil bekerja mereka serta modal simbolik yang hanya berupa rumah sederhana. Mungkin tanah yang dipakai bukan tanah milik sendiri alias milik orang lain atau bahkan milik pemerintah. Padahal, dengan modal simbolik tidak lepas dari apa yang dinamakan dengan kekuasaan (power).
Dengan kekuasaan memungkinkan mereka untuk mendapatkan kesetaraaan dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi mereka. Namun, hal itu tidak di dapat oleh orang-orang yang berada pada kalangan bawah. Sedikitnya modal yang mereka miliki, mengantarkan mereka pada penindasan secara tidak langsung oleh kalangan yang berada diatas mereka. Penindasan terjadi akibat modal, arena dan habitus yang mereka miliki tidak ada perubahan yang maju. Tidak ada usaha untuk mengubah mereka menjadi terdidik. Artinya, pertama, dengan pendidikan mereka dapat membaca. Dengan membaca meminimalkan mereka untuk dapat ditipu oleh orang lain. Kedua, dengan pendidikan mereka dapat belajar angka-angka atau berhitung, meski setiap harinya mereka juga berhitung dalam mencari uang.
Ketiga, mereka mendapatkan pengetahuan yang lebih dari pengetahuan yang mereka dapat dari lingkungan dan jalannan yang menemani mereka sehari-hari. Sehingga, dengan kemampuan yang telah diperoleh dari hasil proses belajar lewat lembaga pendidikan mereka mendapatkan selembar ijazah yang dapat digunakan untuk melamar pekerjaan yang layak. Meskipun setiap pekerjaan diakumulasikan dengan tingkat atau jenjang pendidikan yang ditempuh.

Pendidikan gratis 9 tahun
Banyak reklame yang dipasang pada papan reklame yang sedikit mengkampanyekan “pendidikan gartis 9 tahun dan itu hukumnya wajib”. Memang benar, pendidikan pada tingkat SD ( sekolah Dasar ) dan SMP ( sekolah menengah Pertama ) biaya yang dinamakan dengan SPP atau BP3 atau biaya bulanan tidak ada.
Namun, hal tersebut bukan berarti meringankan dan berhasil mengajak mereka yang tidak memiliki biaya langsung tertarik untuk mendaftarkan diri sebagai calon peserta didik. Mereka yang lagi-lagi terbentur oleh biaya atau uang. Harus memikirkan lagi bagaimana dengan seragam sekolah, peralatan sekolah, uang jajan dan lain-lain yang berkaitan dengan urusan sekolah. Semua pikiran tersita oleh bayangan akan biaya sekolah yang mahal. Sedikit meringankan, mungkin itu tepat untuk program pemerintah ini.  Setiap orang memiliki ketahanan mental yang berbeda-beda. Hal ini terbentuk oleh habitus keluarga dan arena. Kekebalan mental yang kuat sedikit  banyak akan membawa mereka pada perubahan lewat pendidikan. Dengan menempuh pendidikan mereka tetap bisa makan, asalkan mereka dapat membagi waktu untuk belajar dan makan. Memperjuangkan pendidikan untuk dirinya sendiri. Terlihat sulit memang untuk mengatur tenaga dan pikiran. Karena tenaga dan pikiran akan saling mempengaruhi dalam keadaan apapun.
Zaman modern memperbudak setiap orang akan uang, pendidikan yang seharusnya dapat ditempuh dengan biaya yang relatif murah dan dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat, nyatanya tidak bisa. Ada kalangan masyarakat yang termaginalkan oleh keadaan yang sulit untuk mereka mendapatkan pendidikan yang layak. Dan untuk mendapatkan ijazah SD yang notabene ijazah tersebut, sekarang tidak dapat digunakan tanpa disertai kemampuan khusus/ ketrampilan yang dimiliki oleh seseorang. Menjadi sulit didapat karena biaya yang mahal. Untuk dapat bersekolah saja, mereka sudah bersyukur. Meminjam istilah dari Giddens, Ruang dan waktu mereka yang telah disita oleh sekolah dan bekerja, meminimkan mereka untuk dapat mengulas kembali pelajaran yang telah didapat di sekolah. Kadang pula, mereka mengatuk dalam proses belajar mengajar disekolah karena kecapekan bekerja serta budaya membaca yang tidak dikenal dalam kalangan bawah. Sehingga daya serap akan pelajaran yang mereka miliki sangat kurang. Pendukung-pendukung untuk memperlancar pendidikan kembali pada biaya atau uang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal pula biayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar