Minggu, 16 Desember 2012

konsep pendidikan tradisional


Berhenti Untuk Menyalahkan!!
            Zaman telah berubah, sudah tua untuk digugat, sudah rapuh untuk berbuat apa yang dikehendaki manusia. Setiap manusia menginginkan segala sesuatunya sempurna. Hal yang sering kali dilakukan manusia adalah berusaha untuk menjadi yang terbaik bagaimanapun caranya. Berbeda dengan seorang peserta didik, mereka juga merupakan manusia. Tetapi letak kesadaran kritis atas keadaan yang krisis seakan di gembok oleh kekuasaan budaya pendidik yang selalu membiasakan peserta didik pasif dalam proses belajar mengajar. Dan kebiasaan peserta didik yang menerima apa saja yang diberikan oleh guru. Yang mana seorang guru atau pendidik merupakan satu-satunya tempat ilmu. Pendidik seperti layaknya bank ilmu yang memiliki segudang ilmu untuk diterangkan kepada peserta didiknya. Dan hal ini dibuktikan dengan sebagian pendidik yang menerapkan sikap yang otoriter dalam proses mengajarnya. Yang lebih lucunya, peserta didik tidak berani untuk membangkang semua intruksi yang dikeluarkan oleh pendidik. Mengkonsepkan segala materi belajar dari penjelasan pendidik. Tidak ada peserta didik yang berkata “ mengapa bapak atau ibu tidak menerangkan terlebih dahulu?” kata seorang petani di sebuah kelompok belajar di sebuah daerah.
            “ Maafkan kami, kami harus tenang dan mendengarkan bapak atau ibu  menerangkan materi yang ada. Bapak atau ibu adalah orang yang memiliki pengetahuan, sedangkan kami (peserta didik) tak tahu apa-apa”. Pernyataan tersebut bukan berarti sebuah bantahan dari peserta didik tapi sebuah ungkapan yang dinyatakan oleh peserta didik dalam hatinya. Sekolah yang digambarkan sebagai tempat untuk para peserta didik menimba ilmu menjadi tempat penindasan kreatifitas bagi peserta didik. Peserta didik dilakonkan sebagai kaum tertindas dan pendidik sebagai pemilik kekuasaan atau sering digambarkan sebagai penindas.  Dimana posisi yang demikian dapat mengkungkung kesadaran kritis yang dimiliki peserta didik. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang dalam prakteknya justru bertindak otoriter dan anti demokratis dengan tidak memberi kesempatan pada peserta didik untuk menumbuhkan pribadi yang kritis, toleransi dan multikulturalisme. Sekolah mempunyai slogan “ mencerdaskan anak bangsa”, tetapi pendidikan hanya didapatkan oleh anak-anak yang memiliki modal dan kapital. Iklan yang mengatakan “ pendidikan gratis 9 tahun” , tetapi kembali lagi pada fakta yang ada. Iklan hanyalah iklan, yang mana dapat diketahui hanya merupakan alat rayuan, janji, dan memabukkan orang yang mendengar. Bukan untuk menunjukan fakta. Padahal sekolah punya visi untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti diskriminasi, tapi tidak mengakomodasi kelompok minoritas seperti kaum miskin. Sekolah dan pendidik terlanjur dipersepsikan sebagai media belajar bagi semua, tapi realitasnya hanya mengakomodasi anak yang pintar, pandai, dan cerdas dan mengeksklusi anak yang pintar yang punya keterbatasan intelektual. Dari sini diperlukan membangun kesadaran kritis peserta didik agar mereka mampu mendemistifikasi kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas. Kesadaran yang kritis merupakan kunci bagi awal proses pendidikan kritis, sebab penindasan, dominasi dan eksplotasi itu berlangsung karena terdegradasinya fakultas kritis manusia. Kesadaran kritis adalah mode of thought yang mampu menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan, seperti istilah Antinio Gramsci tentang “common sense.” Critical consciousness mampu dikembangkan lewat kesadaran diri peserta didik atas atas posisi peserta didik yang digambarkan sebagai kaum tertindas. Yangmana lahir lewat usaha yang kreatif dari dalam peserta didik sendiri, dimana kesadaran kritis tidak bisa dicangkokkan. 
            Lewat kesadaran kritis yang tumbuh di dalam diri peserta didik mampu menciptakan pendidikan kritis secara nyata di lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah. Karena sekolah memiliki visi sosial dan pendidikan yang berbasis pada keadilan dan kesetaraan ini tidak hanya tertuang pada tulisan dan kata, tetapi juga termanifestasikan dalam praktek pendidikan sehari-hari. Tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal, dan ketidak konsistenan antara apa yang dikonstruksikan secara normatif dengan praktek di lapangan. Fakta menunjukan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Sebenarnya proses pendidikan kritis sudah dilakukan melalui penyelenggaraan belajar mengajar di kelas. Ciri-ciri dari pendidikan kritis adalah pertama, belajar dari realitas atau pengalaman yakni pengalaman seseorang yang terlibat dalam keadaan nyata. Sehingga tidak ada otoritas pengetahuan seseorang yang lebih tinggi dari yang lainnya. Keabsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan atau pengalaman langsung yangmana bukan dari teori-teori saja. Kedua, tidak menggurui yakni antara pendidik dan peserta didik tidak saling menggurui. Tak ada peserta didik dan tak ada pendidik yang digurui. Semua orang yang berada di kelas terlibat dalam proses pendidikan yaitu pendidik dan peserta didik pada saat yang bersamaan. Ketiga, dialogis yakni berlangsungnya komunikasi dua arah antara pendidik dan peserta didik. Bukan bersifat satu arah. Sehingga proses komunikasi ini memungkinkan dapat menciptakan dialogis yang kritis antar orang yang terlibat.
            Pendidikan kritis saat ini mungkin tidak tererealisasikan dengan baik. Tetapi setidaknya sudah ada usaha dari peserta didik untuk mengubah konsep pengajaran pendidik untuk tidak selalu bersikap otoriter. Dalam keadaan yang demikian, tidak dapat seseorang menyalahkan satu sama lain. Karena akan menjadi tidak berguna bilamana masyarakat saling menyalahkan untuk masalah sekolah. Tapi lebih bagaimana masyarakat atau peserta didik menumbuhkan kesadaran kritisnya untuk mendistribusikan pengalaman dan pengetahuannya dalam hal kemampuan belajar kepada peserta didik lainnya untuk bisa melakukan hal yang sama dengan motivasi yang sama yakni menghapuskan pendidikan otoriter dan menumbuhkan pendidikan kritis yang dapat membantu peserta didik lepas dari lakonnya sebagai kaum tertindas. Dan memulai semangat berjuang lagi untuk kemakmuran peserta didik. Dalam hal ini kemakmuran peserta didik dalam mengeluarkan kretifitas mereka agar sekolah memiliki variasi yang menyenangkan bagi proses belajar mengajar. Tidak lagi melihat sekolah sebagai penjara kreatifitas tetapi tempat lahirnya kretifitas-kreatifitas yang cemerlang seperti halnya memiliki gagasan untuk memberikan pendidikan kepada mereka(orang tua) yang buta huruf. Membantu mengentaskan buta huruf di lingkungannya sudah merupakan bukti adanya kesadaran kritis dan proses pendidikan kritis dalam diri peserta didik. Di dalam kelas, peserta didik dapat memperlihatkan pendidikan kritis yang terjadi dengan adanya dialogis atau komunikasi dua arah antar peserta didik dan pendidik. Dimana peserta didik memeiliki pengetahuan lewat buku yang dimiliki atau media lain yang membantunya dalam mempelajari materi yang diterangkan oleh pendidik dan pendidik telah memiliki pengetahuan lewat pendidikan yang telah ditempuhnya. Bukan lagi proses pendidikan “bergaya bank” berkembang pesat yangmana peserta didik menampung semua materi yang diberikan oleh pendidik dan bersifat satu arah, tetapi peserta didik dan pendidik saling aktif di dalam kelas.  Berhenti untuk menyalahkan pendidik yang demikian, tetapi bagaimana peserta didik mampu menumbuhkan kesadaran kritis yang menjadikan pendidikan lebih terkritisi lagi. Tidak lagi menyalahkan, tapi bagaimana peserta didik memotivasi dirinya sendiri untuk bangkit dari ketertidansan yang selama ini tidak dirasakan. Karena menyalahkan bukan hal yang dapat merubah semua masalah yang ada, tetapi akan memperburuk keadaan. Mereka akan merasa putus asa dengan keadaan yang ada. Hal ini lah dampak negatif dari menyalahkan. Jadi berhentilah untuk menyalah! Dan mulai hidup dengan kesadaran kritis yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Semangat untuk jadi yang lebih baik. Karena menyalahkan bukan usaha, tetapi hanya perkataan. Daripada demikian, lebih baik berusaha untuk hidup lebih kritis. Dengan memulainya di dalam kelas dan merambah ke luar kelas. Seperti contoh yang telah dikemukakan. Semangat untuk membangun sesuatu yang kreatif demi berlangsungnya pendidikan yang nyata bagi semua peserta didik. 

Kamis, 13 Desember 2012

copet ala manusia berpendidikan

COPET ALA MANUSIA BERPENDIDIKAN
            Mulai tahun 1998 – 2011, banyak sekali kasus korupsi yang terukap ke halayak. Dari pejabat tinggi negara seperti  alm. Soeharto sampai dengan karyawan bank seperti Melinda dee. Pengadilan yang merupakan tempat untuk mengadili sebuah kasus juga ikut larut dalam arus ketidakadilan melalui uang suap. Dimana lagi tepat yang pas untuk mengadili orang yang bermoral korup seperti mereka?          
Tidak hanya itu saja kasus korupsi yang terungkap. Pejabat pemerintahan yang berada di tingkat desa saja juga telah melakukan praktek korupsi. Ironis sekali negara Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) juga kaya dengan Sumber daya manusia (SDM) yang korup. SDA dan SDM memiliki kedudukan yang seimbang. Tetapi dalam prakteknya, SDM yang korp lebih cepat maju dan berkembang daripada SDA yang banyak yang tidak tahu bagaimana mengelolanya.
Manusia terlahir untuk memenuhi bumi. Mereka mendapatkan ilmu dalam kehidupannya. Entah itu ilmu positif ataupun negatif. Pemerintah menyuarakan kepada rakyatnya agar bersekolah. Pemerintahan telah memutuskan “sekolah gratis 12 tahun”. Tetapi, pejabat-pejabat negara yang telah mengeyam bangku sekolah tidak dapat memberikan teladan yang baik bagi masyarakatnya. Dengan pendidikan yang tinggi, mereka melakukan kejahatan seperti hal nya orang yang tak pernah sekolah yang kesulitan mencari uang yakni seorang copet. Dengan konteks yang berbeda, mereka (para pejabat) melakukan aksi mencopet dengan trik yang licin. Sekali mencopet, mereka mendapatkan uang puluhan sampai ratusan juta. Inilah yang dinamakan copet ala manusia berpendidikan. Dengan basic pendidikan yang tinggi seperti title sarjana yang telah mereka dapat, mereka mampu untuk beroperasi selama mereka masih menjabat di pemerintahan.
Dapat diketahui pendidikan itu adalah suatu kebutuhan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan juga diartikan sebagai proses memanusiakan manusia. Yangmana bertujuan untuk memuliakan manusia. Untuk orang awam yang tidak berpendidikan akan sulit untuk memahami apa  arti sebenarnya dari pendidikan diatas. Yang mereka tahu, pendidikan adalah uang. Sehingga orang mau bersekolah harus memiliki uang yang lebih. Padahal pendidikan bagi mereka merupakan alat untuk meloncat dari jurang kebodohan dan kemiskinan. Meskipun itu memerlukan proses yang tidak singkat. Hal ini dapat digambarkan secara umum bahwa dengan pendidikan, manusia dapat mendapatkan pekerjaan melalui ijazah sekolah ataupun ketrampilan yang mereka punyai. Dan tergambar pula pada tindakan-tindakan pejabat-pajabat pemerintahan yang korup. Dengan pendidikan, mereka mendapatkan pengetahuan untuk bagaimana mendapatkan pekerjaan dan uang. Copet yang sebenarnya, sekali mencopet pasti dapat dompet yang belum tentu ada isinya (uang). Lain halnya dengan copet profesional dengan basic pendidikan tinggi. Mereka telah mengetahui berapa uang yang akan mereka dapatkan dari usaha mencopet uang rakyat.
Dalam film yang berjudul “Alangkah Lucunya Negeri ini” menceritakan bahwa copet kecil perlu pendidikan agar dapat mengubah tindak kejahatanya sebagai pencopet menjadi seorang lebih baik lagi daripada pencopet yaitu asongan. Meskipun hasil asongan yang didapatkan sedikit, setidaknya mereka telah belajar untuk mendapatkan uang yang halal dan tidak lagi merugikan orang lain. Film inilah yang dibutuhkan oleh para koruptor. Apakah mereka tidak malu akan keberadaan pencopet kecil jalanan yang mau merubah cara untuk memperoleh uang yang halal dengan keterbatasan pendidikan yang diperolehnya?????
Para koruptor dengan latarbelakang pendidikan yang bagus mencoba melegitimasi aksinya dengan kasus-kasus baru yang seakan kasus korup yang sebelumnya telah selesai dibahas. Meskipun belum ada keputusan resmi dari pengadilan yang dianggap korup pula. Seperti halnya yang diungkap oleh Habermas bahwa legitimasi dirancang untuk memistifikasi sistem politik, yang mana membantunya mengaburkan hal-hal yang sesungguhnya terjadi. Legitimasi merupakan sistem gagasan yang dibangun oleh sistem politik. Korupsi juga hasil aksi politik yang ruwet. Korupsi merupakan hal yang telah terkultur dengan sendirinya di Indonesia. Inilah kebiasaan Indonesia yang seakan secara tidak sengaja kasus korupsi tertutup dengan sendirinya oleh berita-berita lain yang lebih menarik perhatian masyarakat. sehingga masyarakat umum tidak mampu menjawab keberadaan uangnya di pemerintahan. Untuk apa? kapan digunakan? apa bentuknya? Mereka juga tidak tahu. Yang demikian yang selalu terjadi di Indonesia.
Melalui pendidikan, mereka (para koruptor terpelajar) tidak puas dengan apa yang diperolehnya sekarang ini. Mereka ingin memperkaya dirinya dengan andil bahwa pendidikan yang ditempuhnya mahal. Sehingga mereka harus dapat mencari uang dengan mudah. Seperti halnya korupsi. Reproduksi para calon koruptor telah menanti. Tinggal menunggu kapan akan melakukan praktek korupsi. Sulit memang untuk memberantas tindakan tersebut. Tetapi hal itu dapat ditumbuhkan dari perilaku masing-masing individu yang mencoba berusaha untuk jujur pada dirinya sendiri dan TUHAN. Manusia mungkin tidak sempurna, tapi mereka mencoba mencapai kesempurnaan dengan kejujuran. Akan  lebih baik daripada membohongi dirinya, orang lain dan TUHAN.
Sedikit coretan yang mungkin belum bisa mengungkap aksi para koruptor. Setidaknya memberikan cerminan kepada masyarakat bahwa pendidikan bukan alat untuk mencopet uang rakyat. Pendidikan membantu kita untuk memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik menurut individu maupun kelompok.