Jumat, 05 Agustus 2016

Kemisikinan di tengah Kota Surabaya

Cerita singkat Warga miskin di tengah perkotaan Surabaya
            Mbah karak adalah warga asli Madura tepatnya di Sampang yang telah lama tinggal di Surabaya. Lamanya sekitar umur anak pertamanya beliau sudah tinggal di Surabaya.  Mbah karak yang memiliki nama asli Aminah ini lebih suka dipanggil Umi ketimbangan sapaan mbah.  Dulunya mbah karak dengan suaminya ini memiliki usaha restoran di THR Mall. Selama 25 tahun beliau menjual makanan seperti soto, bakso dan lainnya. Kemudian mengalami kemunduran penjualan karena sepi pengunjung dan suaminya meninggal. Akhirnya pindah di depan THR dengan berjualan menggunakan gerobak dorong yang digantikan oleh menantunya dari suami anaknya yang bernama Sulikah. Tetapi pada akhirnya suami sang anak meninggal dan mbah karak benar-benar gulung tikar. Mbah karak mengalami kebangkrutan. Mbah karak juga memiliki sawah seluas 4 petak di daerah asalnya, tetapi lagi lagi sawah tersebut dijual nya. Sekarang harta yang tersisa hanya rumah yang berada di Ambengan Selatan Karya no.24 Kelurahan Tambak Sari Kecamatan Tambak Sari.
            Mbah karak yang sudah tidak lagi muda sering kali sulit untuk diajak berkomunikasi ini memiliki rumah dengan status milik sendiri tetapi keberadaannya masih ilegal. Hal ini diketahui karena ternyata tanah yang dipakai untuk mendirikan bangunan rumahnya merupakan tanah milik PT.kereta Api daerah Gubeng. Menurut informasi yang didapatkan, dulunya sebelum ada warga yang menempati, tanah tersebut  dihuni terlebih dahulu oleh para pekerja atau karyawan PJKA sebanyak 73 dan salah satunya mbah karak yang notabene bukan pegawai PJKA. Tanah ini bersistem drop-drop an (Siapa dulunya yang menghuni lebih dulu dan membangun rumah duluan menjadi hak milik meskipun sampai saat ini masih berstatus ilegal). Sebelum tinggal di Ambengan, mbah karak tinggal di daerah Kanginan Surabaya. Dengan keadaan yang ilegal ini, mbah karak masih berstatus warga kanginan dengan domisili KTP daerah kanginan bukan ambengan selatan karya. Hal ini juga berpengaruh pada pasokan listrik didaerah ini. Sebagian besar masyarakatnya belum memiliki listrik atau gardu listrk sendiri. Listrik diperoleh mbah karak dari cucu yang bertetangga dengannya. Setiap bulannya mbah karak membayar sebesar 30ribu.
            Kondisi yang sudah rentan membuat mbah karak banyak lupa akan hal-hal yang penting. Seperti umur saja beliau sudah lupa. Yang diingatnya dulu, bahwa saat terjadi hujan abu atau hujan es beliau sudah ada dan sudah bisa mengetahui kalau ada hujan abu ataupun hujan es pada waktu itu. saat mencoba menanyakan umur mbah karak kepada cucunya yang tinggal bertetangga dengan mbah karak menjawab Umi berumur sekitar ±90 tahunan. Lucunya, mbah karak ini mengingat berapa jumlah anaknya tetapi lupa dengan nama-namanya. Mbah karak memiliki 11 anak. Pertamanya beliau ditinggalkan oleh empat anaknya yang meninggal kemudian disusul lagi dengan lima anak yang lain juga ikut meninggal. Akhirnya yang diingat mbah karak hanya ketiga anaknya yang masih hidup yakni Manikin (60 tahun), Nurgani dan Sulikah. Dilihat dari anaknya yang banyak, mbak karak juga memiliki bannyak cucu yakni dengan 18 cucu dan 9 cicit.
Bangunan rumah mbah karak terbuat dari triplek dan genteng dari seng. Setiap kali hujan turun. Mbah karak memilih tidur di rumah anaknya karena seng atap rumah yang sudah banyak yang bolong akibatnya saat turun hujan bocor dan membasahi lantai nya untuk tidur.  Luas rumah yang hanya sebesar sekitar 3x4 ini berada di lorong kecil dekat dengan kost-kostan untuk rumah tangga. Meskipun kecil, mbah karak masih memiliki ruang kecil untuk tempat mandi. Tetapi belum memiliki WC sendiri. Apabila ingin buang air besar harus keluar rumah dan buang air besar di ponten umum milik warga dengan membayar 500 rupiah setiap kali masuk WC umum.
Mbah karak, nama ini diperolehnya karena profesinya yang saat ini terkenal dengan mbah-mbah yang setiap harinya menjemur nasi aking atau bekas makanan dari tetangga-tetangganya dirumah. Setidaknya dengan pekerjaan yang kelihatannya ringan tersebut mbah karak dapat membantu anak yang sering ditinggalinya untuk sekedar membeli minyak tanah. Penghasilan yang diperoleh dari menjual karak per 1 timba (paragon cat tembok) sebesar Rp. 4000,-. Penggunaan minyak tanah untuk memasak sehari-hari dikarenakan mbah karak masih takut untuk menggunakan kompor gas. Nenek dengan paras cantiknya ini memiliki trauma tersendiri dengan kompor gas. Selagi beliau tidur, rumah beliau hampir saja kebakaran karena penggunaan gas elpiji. Beliau merasa pada saat itu sudah berteriak dan memanggil – manggil cucunya, namun perasaannya yang sudah takut membuat beliau panik dan akhirnya tidak bisa membuka pintu yang terkunci dengan slot kecil warna hitam. Kepanikan yang terlalu besar menimbulkan ketakutan yang sangat pada nenek supergigih ini. Dari situlah, mbah karak tidak mau memakai gas elpiji dan tidak pernah mengunci pintu rumahnya meskipun pada saat beliau tidur di malam hari.
Setiap harinya mbah karak membuka makanan bekas atau sering disebut dengan karak ini di emperan jalan tepi rel kereta api sekitar pukul setengah 8 dan ditutupnya sekitar setengah 5 setelah matahari agak condong ke barat. Cerita lain dari mbah karak adalah saat penulis mendekati mbah karak, beliau masih belum jelas dengan tujuan kita kesana. Beliau takut kalau-kalau beliau tertipu lagi seperti kasusnya beberapa tahun lalu. Mbah karak pernah tertipu karena mbah karak buta aksara. Beliau tertipi sebanyak empat juta. Uang tersebut merupakan uang cicilan motor anaknya. Tetapi karena beliau buta aksara. Beliau menganggap bahwa orang yang membawa tagihan atau seperti buku itu adalah penagihnya. Tetapi pada saat itu yang datang dengan secarik kertas itu bukan penagih kredit motor anaknya, melainkan tukang peminta-minta. Akhirnya uang empat juta pun melayang. Sejak saat itu, mbah karak agak enggan berbicara dengan orang yang belum dikenal. Mengetahui hal itu, penulis mencoba mendekati cucunya dan menjelaskan tujuan peneliti. Akhirnya mbah karak dapat menerima setelah dijelaskan oleh cucunya.


Pendidikan memang tak begitu penting bagi sebagian masyarakat Surabaya yang notabene ribet dengan urusan pemenuhan dalam kebutuhan ekonominya. Namun kalau akhirnya seperti yang terjadi di mbah karak ini, memang memprihatikan. Tidak semata-mata pendidikan yang perlu, tapi juga bagamaina bisa hidup layak di kota metropolitan yang semua barang kebutuhan semakin hari semakin meningkat harganya. Selalu berusaha dan semangatd yang ditunjukkan oleh mbah yang memiliki tenaga super untuk selalu menatap hari dengan penuuh do'a dan kerja keras. Sedikit pesan yang disirat dapat dijadikan tolok ukur masyarakat lain untuk berusaha lebih keras lagi. Hidup semakin keras dan manusianya pun juga semakin ambisi. Selalu berhati-hati dalam melangkah. SEMANGATTTTDDD !! J

Kemiskinan di tengah kota Surabaya

Cerita singkat Warga miskin di tengah perkotaan Surabaya
            Mbah karak adalah warga asli Madura tepatnya di Sampang yang telah lama tinggal di Surabaya. Lamanya sekitar umur anak pertamanya beliau sudah tinggal di Surabaya.  Mbah karak yang memiliki nama asli Aminah ini lebih suka dipanggil Umi ketimbangan sapaan mbah.  Dulunya mbah karak dengan suaminya ini memiliki usaha restoran di THR Mall. Selama 25 tahun beliau menjual makanan seperti soto, bakso dan lainnya. Kemudian mengalami kemunduran penjualan karena sepi pengunjung dan suaminya meninggal. Akhirnya pindah di depan THR dengan berjualan menggunakan gerobak dorong yang digantikan oleh menantunya dari suami anaknya yang bernama Sulikah. Tetapi pada akhirnya suami sang anak meninggal dan mbah karak benar-benar gulung tikar. Mbah karak mengalami kebangkrutan. Mbah karak juga memiliki sawah seluas 4 petak di daerah asalnya, tetapi lagi lagi sawah tersebut dijual nya. Sekarang harta yang tersisa hanya rumah yang berada di Ambengan Selatan Karya no.24 Kelurahan Tambak Sari Kecamatan Tambak Sari.
            Mbah karak yang sudah tidak lagi muda sering kali sulit untuk diajak berkomunikasi ini memiliki rumah dengan status milik sendiri tetapi keberadaannya masih ilegal. Hal ini diketahui karena ternyata tanah yang dipakai untuk mendirikan bangunan rumahnya merupakan tanah milik PT.kereta Api daerah Gubeng. Menurut informasi yang didapatkan, dulunya sebelum ada warga yang menempati, tanah tersebut  dihuni terlebih dahulu oleh para pekerja atau karyawan PJKA sebanyak 73 dan salah satunya mbah karak yang notabene bukan pegawai PJKA. Tanah ini bersistem drop-drop an (Siapa dulunya yang menghuni lebih dulu dan membangun rumah duluan menjadi hak milik meskipun sampai saat ini masih berstatus ilegal). Sebelum tinggal di Ambengan, mbah karak tinggal di daerah Kanginan Surabaya. Dengan keadaan yang ilegal ini, mbah karak masih berstatus warga kanginan dengan domisili KTP daerah kanginan bukan ambengan selatan karya. Hal ini juga berpengaruh pada pasokan listrik didaerah ini. Sebagian besar masyarakatnya belum memiliki listrik atau gardu listrk sendiri. Listrik diperoleh mbah karak dari cucu yang bertetangga dengannya. Setiap bulannya mbah karak membayar sebesar 30ribu.
            Kondisi yang sudah rentan membuat mbah karak banyak lupa akan hal-hal yang penting. Seperti umur saja beliau sudah lupa. Yang diingatnya dulu, bahwa saat terjadi hujan abu atau hujan es beliau sudah ada dan sudah bisa mengetahui kalau ada hujan abu ataupun hujan es pada waktu itu. saat mencoba menanyakan umur mbah karak kepada cucunya yang tinggal bertetangga dengan mbah karak menjawab Umi berumur sekitar ±90 tahunan. Lucunya, mbah karak ini mengingat berapa jumlah anaknya tetapi lupa dengan nama-namanya. Mbah karak memiliki 11 anak. Pertamanya beliau ditinggalkan oleh empat anaknya yang meninggal kemudian disusul lagi dengan lima anak yang lain juga ikut meninggal. Akhirnya yang diingat mbah karak hanya ketiga anaknya yang masih hidup yakni Manikin (60 tahun), Nurgani dan Sulikah. Dilihat dari anaknya yang banyak, mbak karak juga memiliki bannyak cucu yakni dengan 18 cucu dan 9 cicit.
Bangunan rumah mbah karak terbuat dari triplek dan genteng dari seng. Setiap kali hujan turun. Mbah karak memilih tidur di rumah anaknya karena seng atap rumah yang sudah banyak yang bolong akibatnya saat turun hujan bocor dan membasahi lantai nya untuk tidur.  Luas rumah yang hanya sebesar sekitar 3x4 ini berada di lorong kecil dekat dengan kost-kostan untuk rumah tangga. Meskipun kecil, mbah karak masih memiliki ruang kecil untuk tempat mandi. Tetapi belum memiliki WC sendiri. Apabila ingin buang air besar harus keluar rumah dan buang air besar di ponten umum milik warga dengan membayar 500 rupiah setiap kali masuk WC umum.
Mbah karak, nama ini diperolehnya karena profesinya yang saat ini terkenal dengan mbah-mbah yang setiap harinya menjemur nasi aking atau bekas makanan dari tetangga-tetangganya dirumah. Setidaknya dengan pekerjaan yang kelihatannya ringan tersebut mbah karak dapat membantu anak yang sering ditinggalinya untuk sekedar membeli minyak tanah. Penghasilan yang diperoleh dari menjual karak per 1 timba (paragon cat tembok) sebesar Rp. 4000,-. Penggunaan minyak tanah untuk memasak sehari-hari dikarenakan mbah karak masih takut untuk menggunakan kompor gas. Nenek dengan paras cantiknya ini memiliki trauma tersendiri dengan kompor gas. Selagi beliau tidur, rumah beliau hampir saja kebakaran karena penggunaan gas elpiji. Beliau merasa pada saat itu sudah berteriak dan memanggil – manggil cucunya, namun perasaannya yang sudah takut membuat beliau panik dan akhirnya tidak bisa membuka pintu yang terkunci dengan slot kecil warna hitam. Kepanikan yang terlalu besar menimbulkan ketakutan yang sangat pada nenek supergigih ini. Dari situlah, mbah karak tidak mau memakai gas elpiji dan tidak pernah mengunci pintu rumahnya meskipun pada saat beliau tidur di malam hari.
Setiap harinya mbah karak membuka makanan bekas atau sering disebut dengan karak ini di emperan jalan tepi rel kereta api sekitar pukul setengah 8 dan ditutupnya sekitar setengah 5 setelah matahari agak condong ke barat. Cerita lain dari mbah karak adalah saat penulis mendekati mbah karak, beliau masih belum jelas dengan tujuan kita kesana. Beliau takut kalau-kalau beliau tertipu lagi seperti kasusnya beberapa tahun lalu. Mbah karak pernah tertipu karena mbah karak buta aksara. Beliau tertipi sebanyak empat juta. Uang tersebut merupakan uang cicilan motor anaknya. Tetapi karena beliau buta aksara. Beliau menganggap bahwa orang yang membawa tagihan atau seperti buku itu adalah penagihnya. Tetapi pada saat itu yang datang dengan secarik kertas itu bukan penagih kredit motor anaknya, melainkan tukang peminta-minta. Akhirnya uang empat juta pun melayang. Sejak saat itu, mbah karak agak enggan berbicara dengan orang yang belum dikenal. Mengetahui hal itu, penulis mencoba mendekati cucunya dan menjelaskan tujuan peneliti. Akhirnya mbah karak dapat menerima setelah dijelaskan oleh cucunya.


Pendidikan memang tak begitu penting bagi sebagian masyarakat Surabaya yang notabene ribet dengan urusan pemenuhan dalam kebutuhan ekonominya. Namun kalau akhirnya seperti yang terjadi di mbah karak ini, memang memprihatikan. Tidak semata-mata pendidikan yang perlu, tapi juga bagamaina bisa hidup layak di kota metropolitan yang semua barang kebutuhan semakin hari semakin meningkat harganya. Selalu berusaha dan semangatd yang ditunjukkan oleh mbah yang memiliki tenaga super untuk selalu menatap hari dengan penuuh do'a dan kerja keras. Sedikit pesan yang disirat dapat dijadikan tolok ukur masyarakat lain untuk berusaha lebih keras lagi. Hidup semakin keras dan manusianya pun juga semakin ambisi. Selalu berhati-hati dalam melangkah. SEMANGATTTTDDD !! J