Sejak
semula, tujuan perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan adalah
untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Proklamasi kemerdekaan dan
kemerdekaan itu sendiri dipandang sebagai suatu jembatan atau pintu gerbang
memasuki kehidupan kebangsaan yang memungkinkan pengerahan potensi segenap
individu dan sosial demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan.
Pendayagunaan dan pengembangan segenap potensi bangsa ini, dengan sendirinya
meliputti pendayagunaan sistem hukum nasional sebagai instrumen penopang
terselenggaranya kehidupan bermasyarakat.
Berkaitan
dengan fungsi instrumental hukum, yakni untuk memfasilitasi kehidupan
masyarakat menuju kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera, telah sejak
semula disadari tidak mungkin dapat diwujudkan melalui pembentukan suatu sistem
hukum nasional yang serba memadai dalam tempo yang singkat. merujuk pada pandangan Mochtar Kusumaatmadja,
fungsi lain dari hukum adalah untuk membantu proses perubahan masyarakat.
Yangmana pandangan tersebut merupakan suatu tranformasi dari perspektif Roscoe
tentang fungsi hukum. Law as a tool of
social engineering yakni hukum
merupakan sebuah alat perubahan sosial. Salah satu karakteristik hukum
adalah pengaturan dan keteraturan dalam penanganan suatu masalah. Hukum adalah sebuah
paket peraturan. Dalam perbincangannya, hukum juga berbicara tentang
stratifikasi sosial. Hukum terlaksana didalam masyarakat yang berstratifikasi
secara tidak langsung. Hal ini terlihat dari pengenalan perbedaan dan pembedaan
perlakuan antara yang berstatus tinggi dan berstatus rendah.
Hukum
berawal dari persoalan-persoalan masyarakat sosial dalam masyarakat dan bermula
dari persoalan politik dan ekonomi yang kemudian juga merambah ke dunia
pendidikan. Selama ini penegak hukum atau aturan-aturan formal bertujuan uuntuk
mencapai kepastian hukum,bukan keadilan hukum. Dimana hukum-hukum tersebut
tertulis. Antara keadilan dan kepastian hukum tidak dapat disatukan. Karena
keduanya memiliki basic yang berbeda. Perbedaan itu dimulai dari kepentingan
setiap individu atau kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan hukuum.
Manusia ternyata tidak takut
kepada TUHAN nya atau aturan,norma,
nilai yang baku apapun seperti aturan negara ataupun aturan agama. Manusia
malah takut dengan orang lain, yakni orang-orang yang memiliki hubungan-hubungan
sosial dengan dirinyamelalui hubungan sosial inilah terjadi saling sosialisasi
atau reproduksi dan rekonstruksi aturan atau hukum, norma, nilai, pengetahuan,
keyakinan sebagai pedoman untuk dan bagi tindakan, sikap dan perilaku. Karena
manusia lebih bersifat individulisme.
Proses globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an
hingga sekarang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda
dalam kehidupan politik, hankam, iptek, pendidikan, sosial budaya, dan hukum.
Globalisasi di bidang hukum tidak terlepas dari peran masyarakatnya yang
bersifat liberal (bebas). Hukum bukan menjadi satu pinjakan yang utama dalam
peraturan. Adanya globalisasi dalam masyarakat, maka masyarakat tersebut
dituntut untuk mampu menghadapi permasalahan atau dampak dari globalisasi itu
sendiri.
Dengan ahli hukum orang tidak dapat melakuakn
revolusi. Perlawanan mengenai hukum mulai bermunculan. Sifat melawan hukum
biasanya didukung dengan adanya pengakomodasian norma-norma hukum tidak
tertulis sebagai sumber hukum, dan di sisi lain dapat dipandang sebagai sesuatu
yang normal dalam dinamika pemikiran hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Naun
disisi lain, perubahan itu dapat dipandang sebagai awal kemunduran dalam upaya
kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera dan
bermartabat. Dikatakan demikian, oleh karena sejalan dengan bergulirnya
Orde Baru dengan pola pikir ( mainstream)
pembangunan di segala bidang, praktik-praktik korupsi ternyata mengalami
peningkatan. Sementara penegakan hukum demikian semakin lemah atau tidak
berdaya akan kekuasaan atau power. Semakin banyak manusia yang tidak terhukum
oleh perbuatan yang merugikan bagi bangsa dan negara.
Dalam dunia pendidikan, peserta didik dipandang
sebagai calon-calon generasi muda yang mana pada masa yang akan datang dapat
menegakkan hukum secara adil dan benar. Disana terdapat bagaimana pelajaran
melawan hukum dan berteman dengan hukum. Mainstream
seorang peserta didik ditempa dengan
memberikan arahan mana yang baik dan buruk. Mulai dari segi pendidikan hukum
dan agama yang selalu terkait dengan hukum. Peserta didik merupakan salah satu
manusia yang telah menerima pelajaran tentang apa itu hukum atau peraturan.
Seorang peserta didik dapat dikatakan sebagai manusia yang mengalami prose
usaha sadar atas dirinya dan keadaannya.
Melalui proses memanusiakan manusia, pengertian
pendidikan menjadi agung dimata masyarakat. Mereka mulai mempercayai eksistensi
pendidikan sebagai proses yang baik untuk pendidikan moral dan psikis
anak. Dengan pendidikan, anak mampu
menilai permasalahan. Tetapi hal itu juga tidak luput dari perilaku yang
memperlihatkan mereka sebagai manusia tanpa hukum. Mereka menjunjung tinggi
kebebasan tanpa melihat basic negara yang berhukum ini.
Setiap warga negara wajib
memperoleh pendidikan wajib selama 9 tahun sampai 12 tahun. Selama itu peserta
didik menerima banyak pelajaran tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang
baik. Tetapi tidak dengan peserta didik pada zaman sekarang, mereka sering
sekali melakukan tindakan melanggar hukum. Tidak hanya peserta didik saja,
tetapi juga manusia yang berpendidikan melakukan hal tersebut. Hal ini
menimbulkan pertanyaan bagaimana manusia dapat menjadi manusia tanpa hukum.
Tindakan atau sikap atau perilaku
menyimpang tak pernah disosialisasikan dan memanng tidak terdapat dalam standart
kehidupan yang berlaku umum (struktur sosial dan kebudayaan), tetapi justru
dominan dalam kehidupan manusia. Hampir semua orang tua dan lingkungan sekolah
ataupun lingkungan sekitar serta pemuka agama mensosialisasikan bahwa tindakan
menyimpang tersebut itu tidak patut dilakukan atau harus dihindari, tetapi
kenyataannya apa yang disosialisasikan tidak menjamin terwujudnya tindakan,
sikap, perilaku seperti apa yang telah diajarkan. Pencurian, mabuk , penipuan,
mencontek, bersikap tanpa sopan santun dan juga korupsi dominan dalam kehidupan
nyata. Bahkan, penyimpangan atau pelanggaran tersebut juga terjadi secara
kolektif.
Menentukan behaviour, analisa jaringan melihat pada struktur dan komposisi
hubungan-hubungan sosial atau ikatan-ikatan sosial yang justru mempengaruhi atau
menentukan norma-nilai-aturan mana yang boleh atau tidak boleh
disosialisasikan. Orang-orang yang mempunyai posisi-posisi tertentu dalam jaringan hubungan
sosial, yang sering disebut sebagai “ agen perubahan” dalan berbagai kejadian
justru menjadi p enghambat terjadinya perubahan. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika banyak orang tua yang kaget dengan panggilan polisi bahwa
anaknya tertangkap sedang pesta narkoba atau hal menyimpang lainnya. Padahal
mereka dididik dengan baik, disekolahkan di sekolah pilihan dan diberi bekal
pengetahuan agama yang baik oleh orang tua dan pendidik. Tidak ada aturan atau norma dan nilai yang “all size”
berlaku bagi semua manusia dan semua masyarakat meskipun gelombang globalisasi
telah melanda seluruh pelosok dunia. Manusia menciptakan standart-standart
kehidupannya dan bahkan sejarahnya sendiri yang mana membuat semakin “cairnya”
batas-batas antar satuan-satuan sosial yang ada.
Berdasarkan pada kenyataannya bahwa
dalam setiap masyarakat selalu terjdi variasi dari pola-pola kehidupan yang
berlaku (tidak homogen), yang hampir selalu dilanggar maka dapat disimpulkan
bahwa standart-standart atau pola-pola kehidupan yang dianggap wajar tersebut,
tidak semua orang dalam suatu masyarakat atau komunitas yang bersangkutan ikut
ambil bagian atau merajut aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai tersebut.
Mereka tidak berkepentingan dan tidak punya wewenang akan tersubordinasikan ke
dalam setiap konteks kehidupan masyarakat atau komunitasnya. Oleh karena itu tidak
semua kepentingan masyarakat selalu terwakili dalam standart-standart baku yang
berlaku. Untuk masyarakat yang memaknai
kepatuhan bisa digambarkan sebagai bentuk subordinasi yang prakteknya
disesuaikan dengan nilai dan noram penguasa bukan pemerintah. Dan sebaliknya,
pelanggaran atau penyimpangan dapat dipandang sebagai suatu bentuk proses atau
perlawanan terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh sepihak yang mana
diatas namakan musyawarah bersama.
Berbagai praktek kehidupan di dalam
sebuah masyarakat sesungguhnya banyak menunjukkan reaksi atau protes sosial
terhadap ukuran-ukuran baku atau norma-norma dan nila-nilai yang berlaku, yang merupakan upaya
aktif mereka dalam menegosiasikan (ulang) standart-standart yang dianggap wajar
tersebut, yang mereka yakini operasional dalam hidupnya, yang mana berbeda
dengan standart-standart kehidupan yang ada.
Dari penjelasan-penjelasan yang
ada, jelas bahwa aturan atau hukum atau pola kehidupan yang dianggap wajar itu,
pertama adalah manusia sensiri yang menciptakan hukum, bukan sesuatu yang
tiba-tiba ada. Kedua, standart-standat atau pola kehidupan yang berlaku umum
itu pun juga merupakan hasil negosiasi atau tawar menawar dari orang-orang yang
berkepentingan. Secara kasarnya, hukum dapat dibeli. Dengan demikian, manusia
itu sebenarnya bukanlah manusia yang patuh dan robotik. Ketiga, dalam
konteks-konteks kehidupan yang dijalaninya, ternyata manusia-manusia yang
terlibat kepentingan didalamnya selalu berinteraksi dan mencoba secara continue bernegosiasi tentang aturan
atau hukum, norma dan nilai yang mana yang akan dijadikan standart (disepakati
bersama) yang harus diberlakukan. Selanjutnya standart-standart hasil negosiasi
inilah (aturan,norma dan nilai yang termasuk juga atribut-stribut status dan
yang lainnya) yang berlaku dalam kehidupan nyata. Yang mana aturan tersebuut
tidak “abadi” karena proses negosiasinya terus berjalan sesuai dengan dinamika
kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak.
Dengan demikian, sebuah standart
kehidupan (aturan, norma dan nilai) yang berlaku hanya bagi kesatuan sosial
yang bersangkutan. Tidak berlaku pada yang lainnya. Hal diatas merupakan
gambaran yang wajar tentang aturan, norma dan nilai. Lain halnya dengan orang
yang menganggap hukum dapat dibeli. Dala mainstream
mereka, hukum itu adalah miliknya. Sehingga mereka dapat hidup tanpa hukum
sesuka kehendaknya. Mark melihat hal ini sebagai permainan kelompak kelas
sosial yang berada diatas. Mark menyebut kelas atas dengan julukan kaum
borjuis. Kaum borjuis merupakan kelompok sosial yang memiliki modal prosuksi
yang besar. Secara tidak langsung, para anggotanya mempunyai posisi sosial
ekonomi, prestise, kekuasaan,dan
orientasi nilai. Yang mana dengan fasilitas tersebut, para kaum borjuis memakai
power atau kekuasaan dilihat sebagai
hasil dari representasi modal yang
dimiliki. Sehingga seakan-akan hukum berada ditanganya, bukan lagi milik
pemerintah. Sekali lagi hukum dapat dibeli.
Dunia pendidikan bukan lagi tempat
lahirnya manusia yang berpendidikan yang selalu mematuhi hukum yang berlaku.
Dengan kesadaran kritis mereka, mereka mampu untuk mengendalikan hukum. Tidak
mematuhi hukum pum juga tidak masalah baginya. Karena hukum bukan sesuatu hal
yang ditinjau dari permasalahan yang terjadi sekarang melainkan terikat pada
peratuaran undang-undang yang tidak relevan lagi bagi zaman ini. Sekarang
banyak sekali manusia tanpa hukum. Mereka hidup tanpa menghiraukan hukum yang
ada. Orang yang seperti ini memiliki sifat yang individualistik. Mejalankan
hukum seperti mainan anak-anak yang bisa dibeli dengan uang. Hukum bukan lagi
sesuatu yang berharga. Banyak permasalahan yang semakin memperburuk citra hukum
dimata masyarakat Indonesia. Kasus-kasus besar seperti korupsi yang telah
menjamur kasusnya tidak dapat diungkap secara apik oleh petugas hukum. Malah
sebaliknya, mereka(para petugas hukum) ikut-ikutan terjerat dalam kasus yang
mereka tangani sendiri yakni terjerat kasus suap. Ironis sekali hukum yang ada
di Indonesia. Banyak masyarakatnya sekarang tidak percaya lagi dengan proses
peradilan hukum yang “kotot” tanpa
adanya penyelesaian yang pasti dan adil. Yang pasti kasus satu akan tertutup
dengan kasus yang lainnya. Hukum bukan lagi sebagai lembaga penilaian perbuatan
yang salah atau benar. Tetapi sebagai tempat ajang persaingan suap atau
kepentingan individu ataupun kelompok. Sehingga mereka ini hanya menganggap
hukum sebagai sesuatu yang tidak jujur, dan bersih. Hal inilah mengapa manusia
atau masyarakat memilih hidup tanpa hukum pemerintahan yang alot menurutnya.
Seperti halnya penjelasan Tacolt
Parson mengenai power. Parson melihat
power lebih mengarah pada produksi
yang merupakan tujuan kolektif dari sebuah sistem dibandingkan ke arah
distributor. Dalam pengertian lain, power
diartikan sebagai kemampuan untuk mengendalikan tindakan orang lain baik
kemampuan resmi ataupun tidak resmi, baik ataupun tidak baik. Dimaknai lagi
sebagai sebuah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Dimana hukum
meletakkan dirinya sebagai kekusaan tertinggi negara. Yangmana mampu
mempengaruhi masyarakat dengan aturan-aturan yang telah dibuatnya. Semuanya
telah tercoreng oleh tindakan para petugas hukum yang tidak adil dalam mengambil keputusan hukuum ketetapannya.
Hukum dapat dinegosiasikan atau ada proses tawar-menawar antara kedua belah
pihak yang bersangkutan, yakni petugas kejaksaan dan yang disebut korban atau
tersangka. Dalam proses negosiasi terdapat nominal angka di dalamnya. Hal
inilah yang membuat peradilan hukum di Indonesia menjadi diragukan. Power yang dimiliki telah redup oleh
kasus-kasus yang mencoreng para petugas hukumnya. Hukum bukan lagi hal yang
dihargai di masyarakat nya sendiri. Tetapi malah sebagai instasi pemerintahan
yang buruk citranya. Dari kasus inilah lahir manusia-manusia yang berpendidikan
memilih mengatasi segala sesuatu dengan rupiah dan angka nominal uang. Manusia tanpa hukum
bermunculan. Mereka menganggap hukum hanya sebagai permainan kepentingan
politik ataupun usaha mereka.
Kesimpulan
Manusia
berpendidikan bukan lagi manusia yang selalu mematuhi hukum yang berlaku. Hukum
di Indonesia telah tercoreng nama baiknya oleh orang-orang tertentu yang dapat
menyuap para petugas hukum yang sekarang tidak lagi dipercayai kejujuranya oleh
masyarakat luas. Mereka juga merupakan orang-orang yang berpendidikan. Dalam
kalangan kelas sosial yang tinggi, hukum dapat dibeli dengan nominal angka atau
rupiah. Hukum bukan lagi sesuatu yang berharga yang dapat membela keadilan.
Tetapi dimana ada uang disitu hukum yang berbicara benar. Sekali lagi hukum
dapat dinegosiasikan dalam bentuk rupiah. Dari kelas sosial yang tinggi, power lah yang berbicara. Parson
memperlihatkan disana terdapat kekuasaan, kemampuan mempengaruhi dan kekuatan
berada dalam satu wadah yang besar berupa uang atau modal menurut mark. Dari
kasus inilah lahir manusia-manusia yang berpendidikan memilih mengatasi segala
sesuatu dengan rupiah dan angka nominal
uang. Manusia tanpa hukum bermunculan. Mereka menganggap hukum hanya sebagai
permainan kepentingan politik ataupun usaha mereka. Secara tidak langsung, para
anggotanya mempunyai posisi sosial ekonomi, prestise,
kekuasaan,dan orientasi nilai. Yang mana dengan fasilitas tersebut, para kaum
borjuis memakai power atau kekuasaan
dilihat sebagai hasil dari representasi modal yang dimiliki. Sehingga seakan-akan hukum berada
ditanganya, bukan lagi milik pemerintah. Sekali lagi hukum dapat dibeli.
Bukan lagi permasalahan tawuran
antar warga ataupun demo pegawai. Tapi penyelesaian permasalahannya kembali
lagi pada masa tradisional yang dilakukan secara musyarwah dengan hasil yang
mufakat. Bukan lagi lagi melalui hukum yang resmi. Karena banyak manusia yang
lebih memilih tanpa hukum hidupnya pun sudah damai bersama masyarakat. Terdapat
rasa saling percaya antar anggotanya. Berjalan seperti biasanya tanpa
direbetkan oleh urusan hukum yang alot. Disinilah manusia tanpa hukum lahir.
Memulai bermasyarakat dengan nilai-nilai adat bukan lagi hukum yang diciptakan
oleh pemerintah. Hukum itu merupakan produk kepentingan politik semata. Hukum
digambarkan sebagai jaring laba-laba. Siapa yang kecil akan mudah atau segera
terperangkap. Dan sebaliknya, bila musuhnya besar maka jaringnya akan rusak.
Seperti halnya hukum. Siapa yang berkuasa dia lah yang menang.
DAFTAR
PUSTAKA
Muladi,H. 2005. Hak Asasi Manusia-Hakekat,Konsep Dan
Implikasi Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat. Bandung: PT Refika
Aditama.
Agusyanto, Ruddy. 2010. Fenomena Dunia Mengecil. Jakarta:
institut Antropologi Indonesia.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1986. Diktat Sosiologi Hukum. Surabaya:
Universitar Airlangga Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar