Selasa, 01 Januari 2013

manusia tanpa hukum


Sejak semula, tujuan perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan adalah untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Proklamasi kemerdekaan dan kemerdekaan itu sendiri dipandang sebagai suatu jembatan atau pintu gerbang memasuki kehidupan kebangsaan yang memungkinkan pengerahan potensi segenap individu dan sosial demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Pendayagunaan dan pengembangan segenap potensi bangsa ini, dengan sendirinya meliputti pendayagunaan sistem hukum nasional sebagai instrumen penopang terselenggaranya kehidupan bermasyarakat.
Berkaitan dengan fungsi instrumental hukum, yakni untuk memfasilitasi kehidupan masyarakat menuju kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera, telah sejak semula disadari tidak mungkin dapat diwujudkan melalui pembentukan suatu sistem hukum nasional yang serba memadai dalam tempo yang singkat.  merujuk pada pandangan Mochtar Kusumaatmadja, fungsi lain dari hukum adalah untuk membantu proses perubahan masyarakat. Yangmana pandangan tersebut merupakan suatu tranformasi dari perspektif Roscoe tentang fungsi hukum. Law as a tool of social engineering  yakni hukum merupakan sebuah alat perubahan sosial. Salah satu karakteristik hukum adalah pengaturan dan keteraturan dalam penanganan suatu masalah. Hukum adalah sebuah paket peraturan. Dalam perbincangannya, hukum juga berbicara tentang stratifikasi sosial. Hukum terlaksana didalam masyarakat yang berstratifikasi secara tidak langsung. Hal ini terlihat dari pengenalan perbedaan dan pembedaan perlakuan antara yang berstatus tinggi dan berstatus rendah. 
Hukum berawal dari persoalan-persoalan masyarakat sosial dalam masyarakat dan bermula dari persoalan politik dan ekonomi yang kemudian juga merambah ke dunia pendidikan. Selama ini penegak hukum atau aturan-aturan formal bertujuan uuntuk mencapai kepastian hukum,bukan keadilan hukum. Dimana hukum-hukum tersebut tertulis. Antara keadilan dan kepastian hukum tidak dapat disatukan. Karena keduanya memiliki basic yang berbeda. Perbedaan itu dimulai dari kepentingan setiap individu atau kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan hukuum.
Manusia ternyata tidak takut kepada  TUHAN nya atau aturan,norma, nilai yang baku apapun seperti aturan negara ataupun aturan agama. Manusia malah takut dengan orang lain, yakni orang-orang yang memiliki hubungan-hubungan sosial dengan dirinyamelalui hubungan sosial inilah terjadi saling sosialisasi atau reproduksi dan rekonstruksi aturan atau hukum, norma, nilai, pengetahuan, keyakinan sebagai pedoman untuk dan bagi tindakan, sikap dan perilaku. Karena manusia lebih bersifat individulisme.
Proses globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an hingga sekarang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik, hankam, iptek, pendidikan, sosial budaya, dan hukum. Globalisasi di bidang hukum tidak terlepas dari peran masyarakatnya yang bersifat liberal (bebas). Hukum bukan menjadi satu pinjakan yang utama dalam peraturan. Adanya globalisasi dalam masyarakat, maka masyarakat tersebut dituntut untuk mampu menghadapi permasalahan atau dampak dari globalisasi itu sendiri.
Dengan ahli hukum orang tidak dapat melakuakn revolusi. Perlawanan mengenai hukum mulai bermunculan. Sifat melawan hukum biasanya didukung dengan adanya pengakomodasian norma-norma hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum, dan di sisi lain dapat dipandang sebagai sesuatu yang normal dalam dinamika pemikiran hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Naun disisi lain, perubahan itu dapat dipandang sebagai awal kemunduran dalam upaya kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera dan  bermartabat. Dikatakan demikian, oleh karena sejalan dengan bergulirnya Orde Baru dengan pola pikir ( mainstream) pembangunan di segala bidang, praktik-praktik korupsi ternyata mengalami peningkatan. Sementara penegakan hukum demikian semakin lemah atau tidak berdaya akan kekuasaan atau power. Semakin banyak manusia yang tidak terhukum oleh perbuatan yang merugikan bagi bangsa dan negara.
Dalam dunia pendidikan, peserta didik dipandang sebagai calon-calon generasi muda yang mana pada masa yang akan datang dapat menegakkan hukum secara adil dan benar. Disana terdapat bagaimana pelajaran melawan hukum dan berteman dengan hukum. Mainstream  seorang peserta didik ditempa dengan memberikan arahan mana yang baik dan buruk. Mulai dari segi pendidikan hukum dan agama yang selalu terkait dengan hukum. Peserta didik merupakan salah satu manusia yang telah menerima pelajaran tentang apa itu hukum atau peraturan. Seorang peserta didik dapat dikatakan sebagai manusia yang mengalami prose usaha sadar atas dirinya dan keadaannya.
Melalui proses memanusiakan manusia, pengertian pendidikan menjadi agung dimata masyarakat. Mereka mulai mempercayai eksistensi pendidikan sebagai proses yang baik untuk pendidikan moral dan psikis anak.  Dengan pendidikan, anak mampu menilai permasalahan. Tetapi hal itu juga tidak luput dari perilaku yang memperlihatkan mereka sebagai manusia tanpa hukum. Mereka menjunjung tinggi kebebasan tanpa melihat basic negara yang berhukum ini.
         Setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan wajib selama 9 tahun sampai 12 tahun. Selama itu peserta didik menerima banyak pelajaran tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Tetapi tidak dengan peserta didik pada zaman sekarang, mereka sering sekali melakukan tindakan melanggar hukum. Tidak hanya peserta didik saja, tetapi juga manusia yang berpendidikan melakukan hal tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana manusia dapat menjadi manusia tanpa hukum.
Tindakan atau sikap atau perilaku menyimpang tak pernah disosialisasikan dan memanng tidak terdapat dalam standart kehidupan yang berlaku umum (struktur sosial dan kebudayaan), tetapi justru dominan dalam kehidupan manusia. Hampir semua orang tua dan lingkungan sekolah ataupun lingkungan sekitar serta pemuka agama mensosialisasikan bahwa tindakan menyimpang tersebut itu tidak patut dilakukan atau harus dihindari, tetapi kenyataannya apa yang disosialisasikan tidak menjamin terwujudnya tindakan, sikap, perilaku seperti apa yang telah diajarkan. Pencurian, mabuk , penipuan, mencontek, bersikap tanpa sopan santun dan juga korupsi dominan dalam kehidupan nyata. Bahkan, penyimpangan atau pelanggaran tersebut juga terjadi secara kolektif.
Menentukan behaviour, analisa jaringan melihat pada struktur dan komposisi hubungan-hubungan sosial atau ikatan-ikatan sosial yang justru mempengaruhi atau menentukan norma-nilai-aturan mana yang boleh atau tidak boleh disosialisasikan. Orang-orang yang mempunyai  posisi-posisi tertentu dalam jaringan hubungan sosial, yang sering disebut sebagai “ agen perubahan” dalan berbagai kejadian justru menjadi p enghambat terjadinya perubahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak orang tua yang kaget dengan panggilan polisi bahwa anaknya tertangkap sedang pesta narkoba atau hal menyimpang lainnya. Padahal mereka dididik dengan baik, disekolahkan di sekolah pilihan dan diberi bekal pengetahuan agama yang baik oleh orang tua dan pendidik.          Tidak ada aturan atau norma dan nilai yang “all size” berlaku bagi semua manusia dan semua masyarakat meskipun gelombang globalisasi telah melanda seluruh pelosok dunia. Manusia menciptakan standart-standart kehidupannya dan bahkan sejarahnya sendiri yang mana membuat semakin “cairnya” batas-batas antar satuan-satuan sosial yang ada.
Berdasarkan pada kenyataannya bahwa dalam setiap masyarakat selalu terjdi variasi dari pola-pola kehidupan yang berlaku (tidak homogen), yang hampir selalu dilanggar maka dapat disimpulkan bahwa standart-standart atau pola-pola kehidupan yang dianggap wajar tersebut, tidak semua orang dalam suatu masyarakat atau komunitas yang bersangkutan ikut ambil bagian atau merajut aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai tersebut. Mereka tidak berkepentingan dan tidak punya wewenang akan tersubordinasikan ke dalam setiap konteks kehidupan masyarakat atau komunitasnya. Oleh karena itu tidak semua kepentingan masyarakat selalu terwakili dalam standart-standart baku yang berlaku. Untuk  masyarakat yang memaknai kepatuhan bisa digambarkan sebagai bentuk subordinasi yang prakteknya disesuaikan dengan nilai dan noram penguasa bukan pemerintah. Dan sebaliknya, pelanggaran atau penyimpangan dapat dipandang sebagai suatu bentuk proses atau perlawanan terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh sepihak yang mana diatas namakan musyawarah bersama.
Berbagai praktek kehidupan di dalam sebuah masyarakat sesungguhnya banyak menunjukkan reaksi atau protes sosial terhadap ukuran-ukuran baku atau norma-norma dan  nila-nilai yang berlaku, yang merupakan upaya aktif mereka dalam menegosiasikan (ulang) standart-standart yang dianggap wajar tersebut, yang mereka yakini operasional dalam hidupnya, yang mana berbeda dengan standart-standart kehidupan yang ada.
Dari penjelasan-penjelasan yang ada, jelas bahwa aturan atau hukum atau pola kehidupan yang dianggap wajar itu, pertama adalah manusia sensiri yang menciptakan hukum, bukan sesuatu yang tiba-tiba ada. Kedua, standart-standat atau pola kehidupan yang berlaku umum itu pun juga merupakan hasil negosiasi atau tawar menawar dari orang-orang yang berkepentingan. Secara kasarnya, hukum dapat dibeli. Dengan demikian, manusia itu sebenarnya bukanlah manusia yang patuh dan robotik. Ketiga, dalam konteks-konteks kehidupan yang dijalaninya, ternyata manusia-manusia yang terlibat kepentingan didalamnya selalu berinteraksi dan mencoba secara continue bernegosiasi tentang aturan atau hukum, norma dan nilai yang mana yang akan dijadikan standart (disepakati bersama) yang harus diberlakukan. Selanjutnya standart-standart hasil negosiasi inilah (aturan,norma dan nilai yang termasuk juga atribut-stribut status dan yang lainnya) yang berlaku dalam kehidupan nyata. Yang mana aturan tersebuut tidak “abadi” karena proses negosiasinya terus berjalan sesuai dengan dinamika kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak.
Dengan demikian, sebuah standart kehidupan (aturan, norma dan nilai) yang berlaku hanya bagi kesatuan sosial yang bersangkutan. Tidak berlaku pada yang lainnya. Hal diatas merupakan gambaran yang wajar tentang aturan, norma dan nilai. Lain halnya dengan orang yang menganggap hukum dapat dibeli. Dala mainstream mereka, hukum itu adalah miliknya. Sehingga mereka dapat hidup tanpa hukum sesuka kehendaknya. Mark melihat hal ini sebagai permainan kelompak kelas sosial yang berada diatas. Mark menyebut kelas atas dengan julukan kaum borjuis. Kaum borjuis merupakan kelompok sosial yang memiliki modal prosuksi yang besar. Secara tidak langsung, para anggotanya mempunyai posisi sosial ekonomi, prestise, kekuasaan,dan orientasi nilai. Yang mana dengan fasilitas tersebut, para kaum borjuis memakai power atau kekuasaan dilihat sebagai hasil dari representasi modal yang  dimiliki. Sehingga seakan-akan hukum berada ditanganya, bukan lagi milik pemerintah. Sekali lagi hukum dapat dibeli.   
Dunia pendidikan bukan lagi tempat lahirnya manusia yang berpendidikan yang selalu mematuhi hukum yang berlaku. Dengan kesadaran kritis mereka, mereka mampu untuk mengendalikan hukum. Tidak mematuhi hukum pum juga tidak masalah baginya. Karena hukum bukan sesuatu hal yang ditinjau dari permasalahan yang terjadi sekarang melainkan terikat pada peratuaran undang-undang yang tidak relevan lagi bagi zaman ini. Sekarang banyak sekali manusia tanpa hukum. Mereka hidup tanpa menghiraukan hukum yang ada. Orang yang seperti ini memiliki sifat yang individualistik. Mejalankan hukum seperti mainan anak-anak yang bisa dibeli dengan uang. Hukum bukan lagi sesuatu yang berharga. Banyak permasalahan yang semakin memperburuk citra hukum dimata masyarakat Indonesia. Kasus-kasus besar seperti korupsi yang telah menjamur kasusnya tidak dapat diungkap secara apik oleh petugas hukum. Malah sebaliknya, mereka(para petugas hukum) ikut-ikutan terjerat dalam kasus yang mereka tangani sendiri yakni terjerat kasus suap. Ironis sekali hukum yang ada di Indonesia. Banyak masyarakatnya sekarang tidak percaya lagi dengan proses peradilan hukum yang “kotot” tanpa adanya penyelesaian yang pasti dan adil. Yang pasti kasus satu akan tertutup dengan kasus yang lainnya. Hukum bukan lagi sebagai lembaga penilaian perbuatan yang salah atau benar. Tetapi sebagai tempat ajang persaingan suap atau kepentingan individu ataupun kelompok. Sehingga mereka ini hanya menganggap hukum sebagai sesuatu yang tidak jujur, dan bersih. Hal inilah mengapa manusia atau masyarakat memilih hidup tanpa hukum pemerintahan yang alot menurutnya.
Seperti halnya penjelasan Tacolt Parson mengenai power. Parson melihat power lebih mengarah pada produksi yang merupakan tujuan kolektif dari sebuah sistem dibandingkan ke arah distributor. Dalam pengertian lain, power diartikan sebagai kemampuan untuk mengendalikan tindakan orang lain baik kemampuan resmi ataupun tidak resmi, baik ataupun tidak baik. Dimaknai lagi sebagai sebuah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Dimana hukum meletakkan dirinya sebagai kekusaan tertinggi negara. Yangmana mampu mempengaruhi masyarakat dengan aturan-aturan yang telah dibuatnya. Semuanya telah tercoreng oleh tindakan para petugas hukum yang tidak adil dalam  mengambil keputusan hukuum ketetapannya. Hukum dapat dinegosiasikan atau ada proses tawar-menawar antara kedua belah pihak yang bersangkutan, yakni petugas kejaksaan dan yang disebut korban atau tersangka. Dalam proses negosiasi terdapat nominal angka di dalamnya. Hal inilah yang membuat peradilan hukum di Indonesia menjadi diragukan. Power yang dimiliki telah redup oleh kasus-kasus yang mencoreng para petugas hukumnya. Hukum bukan lagi hal yang dihargai di masyarakat nya sendiri. Tetapi malah sebagai instasi pemerintahan yang buruk citranya. Dari kasus inilah lahir manusia-manusia yang berpendidikan memilih mengatasi segala sesuatu dengan rupiah dan angka  nominal uang. Manusia tanpa hukum bermunculan. Mereka menganggap hukum hanya sebagai permainan kepentingan politik ataupun usaha mereka.

 Kesimpulan
Manusia berpendidikan bukan lagi manusia yang selalu mematuhi hukum yang berlaku. Hukum di Indonesia telah tercoreng nama baiknya oleh orang-orang tertentu yang dapat menyuap para petugas hukum yang sekarang tidak lagi dipercayai kejujuranya oleh masyarakat luas. Mereka juga merupakan orang-orang yang berpendidikan. Dalam kalangan kelas sosial yang tinggi, hukum dapat dibeli dengan nominal angka atau rupiah. Hukum bukan lagi sesuatu yang berharga yang dapat membela keadilan. Tetapi dimana ada uang disitu hukum yang berbicara benar. Sekali lagi hukum dapat dinegosiasikan dalam bentuk rupiah. Dari kelas sosial yang tinggi, power lah yang berbicara. Parson memperlihatkan disana terdapat kekuasaan, kemampuan mempengaruhi dan kekuatan berada dalam satu wadah yang besar berupa uang atau modal menurut mark. Dari kasus inilah lahir manusia-manusia yang berpendidikan memilih mengatasi segala sesuatu dengan rupiah dan angka  nominal uang. Manusia tanpa hukum bermunculan. Mereka menganggap hukum hanya sebagai permainan kepentingan politik ataupun usaha mereka. Secara tidak langsung, para anggotanya mempunyai posisi sosial ekonomi, prestise, kekuasaan,dan orientasi nilai. Yang mana dengan fasilitas tersebut, para kaum borjuis memakai power atau kekuasaan dilihat sebagai hasil dari representasi modal yang  dimiliki. Sehingga seakan-akan hukum berada ditanganya, bukan lagi milik pemerintah. Sekali lagi hukum dapat dibeli.  
Bukan lagi permasalahan tawuran antar warga ataupun demo pegawai. Tapi penyelesaian permasalahannya kembali lagi pada masa tradisional yang dilakukan secara musyarwah dengan hasil yang mufakat. Bukan lagi lagi melalui hukum yang resmi. Karena banyak manusia yang lebih memilih tanpa hukum hidupnya pun sudah damai bersama masyarakat. Terdapat rasa saling percaya antar anggotanya. Berjalan seperti biasanya tanpa direbetkan oleh urusan hukum yang alot. Disinilah manusia tanpa hukum lahir. Memulai bermasyarakat dengan nilai-nilai adat bukan lagi hukum yang diciptakan oleh pemerintah. Hukum itu merupakan produk kepentingan politik semata. Hukum digambarkan sebagai jaring laba-laba. Siapa yang kecil akan mudah atau segera terperangkap. Dan sebaliknya, bila musuhnya besar maka jaringnya akan rusak. Seperti halnya hukum. Siapa yang berkuasa dia lah yang menang.
















DAFTAR PUSTAKA
Muladi,H. 2005. Hak Asasi Manusia-Hakekat,Konsep Dan Implikasi Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat. Bandung: PT Refika Aditama.
Agusyanto, Ruddy. 2010. Fenomena Dunia Mengecil. Jakarta: institut Antropologi Indonesia.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1986. Diktat Sosiologi Hukum. Surabaya: Universitar Airlangga Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar