Sabtu, 27 April 2013



PENGARUH SOSIOKULTURAL TERHADAP PERKEMBANGAN TATABAHASA DAN KOGNITIF ANAK USIA DINI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN KARAKTER


Ivonie Tri Nurjayanti
FIS Universitas Negeri Surabaya

Abstrak
Pengaruh gaya kekini-kinian mengakibatkan anak-anak yang berada pada tingkatan anak usia dini memiliki gaya bahasa yang tidak semestinya yang kemudian mempengaruhi pula perkembangan kognitif anak. Sehingga diperlukan eksplorasi pendidikan karakter anak terhadap tatabahasa dan kognitif yang dipengaruhi oleh sosiokultural melalui lembaga pendidikan formal yakni TK se Kecamatan Ngetos dan TK se Kecamatan Nganjuk. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah Sosikultural yang berkaitan dengan perkembangan bahasa dan kognitif dari Vygotsky dan Jean Piaget, George Herbert Mead mengenai tahap sosialisasi, dan grand design pendidikan karakter dari Kementerian Pendidikan Nasional 2010. Hasil dari penelitian adalah terdapat perbedaan pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter antara TK se Kecamatan Ngetos dengan TK se Kecamatan Nganjuk.
Kata Kunci : Sosiokultural, Perkembangan Tata Bahasa Dan Kognitif Anak Usia Dini, Pendidikan Karakter.

Pendahuluan
Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau periode keemasan. Disebut juga dengan masa eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain dan masa trozt alter 1 (masa membangkang tahap 1). Pada masa ini anak usia dini biasanya berada dalam lingkungan sekolah, yakni pendidikan anak usia dini (PAUD) yang terdiri dari playgroup dan taman kanak-kanak (TK).  Dalam wadah pendidikan formal (TK), PAUD di hadirkan disini agar bisa menjadi ajang sosialisasi mereka dengan teman-teman dan lingkungannya. PAUD dianggap penting karena PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat fundamental. PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya sebab merupakan fondasi bagi kepribadian anak selain pengaruh yang diperoleh melalui lingkungan sekitar rumah. Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja serta produktivitas. Pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan atau kognitif anak (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Dalam proses pendidikan anak usia dini diperlukan juga pendidikan karakter anak yang dapat menunjang perkembangan anak dalam aspek tatabahasa yang semakin kesini semakin tidak tertata layaknya dunia anak yang sarat akan pengaruh bebas yang diperoleh dari lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar. Secara sosiokultural, lingkungan mencakup segenap stumulasi, interaksi dan kondisi eksternal dalam hubungannya dengan perlakuan ataupun hanya karya orang lain. Sosiokultural mempunyai peran lebih aktif dalam tahap awal sosialisasi anak usia dini. Lingkungan sosiokultural merupakan wadah terjadinya proses yang saling mengkait antara unsur-unsur kebendaan dan spiritual. Proses tersebut menyangkut tingkah laku manusia dan diatur olehnya. Lingkungan tersebut diartikan sebagai lingkungan yang berada di kehidupan masyarakat, sekolah dan keluarga. Pada keemasan, anak-anak pada usia dini banyak melakukan kegiatan imitasi terhadap perilaku orang-orang yang berada disekitarnya. Seperti peniruan terhadap bahasa, gaya bicara, cara berpakaian, sampai cara bersikap.
John Locke  yang merupakan pelopor aliran empirisme berpendapat bahwa anak sejak lahir, masih bersih seperti tabula rasa dan baru akan dapat berisi bila ia menerima sesuatu dari luar, lewat alat inderanya. Karena itu pengaruh dari luar akan lebih kuat daripada pembawaan manusia. Seperti halnya Sandy, anak yang berusia sekitar 5 (lima ) tahun berasal dari malang. Yang mana videonya telah tersebar luas di telepon genggam sebagian masyarakat Indonesia dan sempat pula ditanyangkan di televisi. Tersebutkan didalam video, Sandy berperilaku layaknya orang dewasa yang sudah terbiasa menghisap rokok, berkata kotor dan bersikap cenderung kurang santun. Perilaku merokok anak-anak lebih banyak diakibatkan oleh perilaku dari orangtuanya yang merokok sehingga mereka mencontohnya serta pengaruh iklan yang dengan gencarnya mempromosikan produk rokok. Atau anak berkata kasar/jorok atau berperilaku seperti orang dewasa bisa karena menikmati reaksi orang-orang di sekitarnya, seperti ia ditertawakan seolah-olah itu lucu dan menghibur, atau diperhatikan dengan rasa kaget dan ingin tahu dari lingkungannya dan anak berkata kasar/ jorok bisa juga karena ia menirunya dari teman di sekolah, sekadar iseng, atau saat ia merasa marah dan mengetahui bahwa kata yang diucapkan dapat memancing kekesalan orang lain, atau hanya karena sedang mempelajari kata-kata yang baru dan senang dengan bunyi kata itu tanpa mengetahui artinya.
Penelitian yang berjudul pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter adalah menitiberatkan pada masalah pendidikan karakter dalam aspek perkembangan bahasa dan kognitif anak usia dini.Karena dalam lingkungan sekolah, pendidik merupakan orang yang setiap harinya mengerti kondisi dari peserta didik dalam menangkap pelajaran yang disampaikan. Sehingga data yang diambil oleh peneliti nantinya akan valid dan sesuai dengan data yang ada di lapangan. Penelitian ini mencoba mengkomparasikan fenomena yang terjadi di pedesaan dan perkotaan yang masih dalam satu rumpun kebudayaan. Anak usia dini yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah anak usia TK, karena peneliti beranggapan bahwa pola-pola kepribadian mereka belum terbentuk. Masih polos dan sangat mungkin untuk dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua atau pun terkonstruk melalui sosiokultural termasuk pembentukan karakter. Berdasarkan tempat dan lingkungan yang berbeda, Kota yang memiliki pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan pertumbuhan anak akan sama hasilnya dengan pengaruh yang tercipta di lingkungan sekolah yang berada dipedesaan. Kota merupakan tempat perkembangan sosial ekonomi yang maju dari pada desa. Di kota sering terjadi perubahan nilai pada kelompok atau individu tertentu yang memiliki nilai yang kurang terikat yang sesuai dengan perannya. Sehingga menimbulkan perilaku yang kurang mendukung bagi perkembang kota itu sendiri. Akibatnya, sedikit sekali terjadi interaksi antar individu satu dengan individu yang lain.
Beberapa hal yang menjadi penyebab permasalahan yang dihadapi oleh anak usia dini belum optimal dalam memperoleh pendidik karakter anak yang berkaitan dengan perkembangan tata bahasa anak usia dini adalah pengaruh pergaulan lingkungan sekitar rumah yang lebih besar peranannya daripada pengaruh yang diberikan lewat sekolah ataupun keluarga, ketertarikan anak-anak dalam pemahaman bahasa yang baik ataupun kurang baik sangat kurang, proses kegiatan belajar mengajar yang terjadi di sekolah belum dapat mewakili pendidikan moral anak yang sedikit diselipkan disela-sela proses KBM berlangsung, antusias anak usia dini yang cenderung lebih suka mengatakan hal yang baru didengar dan dirasakan unik dan lucu untuk dikatakan. Atau sebagai proses imitasi, kurangnya peran orangtua dalam membantu pendidik dalam hal pemberian pendidikan karakter atau moral terhadap anaknya.  
Menghadapi permasalahan pendidikan yang semakin mencemaskan bagi perkembangan anak usia dini yang terkait dengan amburadulnya tata bahasa dan perkembangan kognitif anak usia dini yang mengikuti pengaruh sosiokultural masa kini yang sarat dengan dunia pergaulan orang-orang dewasa, maka diperlukan adanya pembenahan pendidikan karakter anak yang lebih intens dan efektif sebagai alat pemecahan permasalahan terhadap perkembangan tata bahasa perkembangan kognitif anak usia dini di lingkungan yang berbeda pula. Sehingga peneliti mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:
- adakah perbedaanpengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakterantara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos?

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah definisi, pengukuran data kuantitatif dan statistik objektif melalui perhitungan ilmiah berasal dari sampel orang-orang atau peserta didik yang diminta menjawab atas sejumlah pertanyaan tentang survei untuk menentukan frekuensi dan persentase tanggapan mereka. Dengan metode penelitian kuantitatif ini, peneliti menggunakan pendekatan secara kuantitatif statistik yakni pendekatan yang berangkat dari suatu teori, gagasan para ahli ataupun dikembangkan menjadi permasalahan yang diajukan untuk memperoleh kebenaran dalam bentuk dukungan data empiris lapangan dan juga memerlukan analisis statistik, yaitu dengan menggunakan angka-angka untuk mencapai kebenaran hipotesis. Meskipun jenis penelitian ini kuantitatif namun tidak menafikan data kualitatif sebagai pendukung data. Adapun sifat dari penelitian ini adalah penelitian Ex-Post Facto atau mengenai sebab akibat. Keadaan sosiokultural yang tidak terkontrol mengakibatkan perkembangan tata bahasa dan perkembangan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter menjadi bergeser dari tatanan konsep anak-anak.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan cara pengambilan sample secara sederhana dan acak (Teknik Simple Random Sampling). Artinya teknik pengambilan sampel dari populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata dan umur yang ada dalam populasi itu. Karena setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk menjadi anggota sampel dengan memberikan pertanyaan kepada pendidik melalui pemberian angket / quesioner. Hal ini disebabkan karena anggota populasi bersifat homogen, yaitu pendidik yang mengajar di TK saja. Jumlah sampel untuk pendidik TK se Kecamatan Ngetos sebanyak 38 dan TK se Kecamatan Nganjuk sebanyak 67 pendidik. Dengan jumlah populasi yang mencapai 60 pendidik dari TK se Kecamatan Ngetos dan TK se Kecamatan Nganjuk jumlah populasinya sebanyak 203 pendidik. Sehingga jumlah keseluruhan sampel dari jumlah populasi yang mencapai 263 adalah 105 pendidik.
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa data statistik. Analisis statistik adalah dalam menganalisis suatu data menggunakan dasar teknik dan tata kerja statistik.Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan dan pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakterantara TK se Kecamatan Nganjuk dan TK se Kecamatan Ngetos. Penelitian ini menggunakan t-test dengan Pooled Varian dalam analisis datanya. Penelitian ini mempunyai cadangan teknik analisis dengan menggunakan program komputer SPSS. Teknik ini dilakukan apabila data di lapangan terlalu sulit untuk dianalisis.

Hasil Penelitian
Diketahui hasil penelitian bahwa terdapat pengaruh sosiokultural pada tumbuh kembang peserta didik di lembaga pendidikan TK di Kecamatan Nganjuk dan Kecamatan Ngetos. Meskipun terdapat perbedaan kuatnya pengaruh sosiokulturalnya. Dan akan mendapatkan hasil yang berbeda apabila pengaruh sosiokultural yang didapatkan berbeda daerahnya. Artinya, setiap daerah memiliki sosiokultur sendiri yang membedakannya dengan daerah lainnya. Maka setiap perilaku manusia yang berada dilingkungan dan budaya yang berbeda akan menghasilkan pemikiran, cara dan gaya bicara, logat sikap , pola kehidupan dan lainnya yang berbeda pula. Karena menurut Koentjaraningrat sosiokultur adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan proses belajar yang didalamnya terdapat proses sosial seperti interaksi melalui komunikasi. Sehingga sosiokultur merupakan produk manusia artinya kumpulan seperangkat pengalaman manusia, maka selanjutnya akan menentukan pola dan gaya hidup suatu masyarakat, baik mengenai bahasa maupun pola kehidupan di setiap tempat. Menurut Vygotsky, sosiokultural lebih menekankan pada praktek-praktek kultur dan sosial dalam lingkungan belajar serta pentingnya peran interaksi sosial bagi perkembangan belajar seseorang. Lingkungan tersebut diartikan sebagai lingkungan yang berada di kehidupan masyarakat, sekolah dan keluarga.
Menurut  Vygotsky, perkembangan anak usia dini akan mengalami kemajuan secara baik apabila anak-anak tidak hanya bermain dengan alat-alat mainan yang ia miliki, namun juga berinteraksi dengan lingkungan sekitar seperti berinteraksi dengan orang yang lebih dewasa darinya dan teman sebayanya yang memiliki pengetahuan yang lebih banyak darinya. Proses sosialisasi akan dapat membantu anak-anak belajar melalui percakapan yang mereka praktekkan serta di lingkungan sekolah yang didalamnya terdapat pendidik yang setiap saat pada jam sekolah mendampingi dan membimbing peserta didik dalam belajar dan bermain sehingga membantu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peserta didik. Dalam kondisi yang demikian, Vygotsky menggunakan istilah zo-ped atau ZPD yang digunakan untuk menggambarkan rentang situasi tertentu pada saat anak masih dalam proses pembelajaran. Rentang tersebut berada diantara dua situasi yang berbeda, yakni disaat anak melakukan kegiatannya sendirian kemudian mendapatkan bantuan. Situasi tersebut memberikan peningkatan pada kemampuan peserta didik saat mengalami kesulitan. Seperti saat anak kesulitan mewarnai gambar bunga. Dengan  melihat teman sebaya dan berbicara pada pendidik tentang kesulitannya maka dalam daya spontannya, peserta didik mampu menunjukkan hasil pekerjaannya dengan hasil yang lebih baik daripada saat peserta didik melakukannya sendirian. Rentang waktu tersebut dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil pengujian SPSS mengenai perkembangan tatabahasa anak usia dini menunjukkan bahwa t-hitung lebih kecil daripada t-tabel. Diketahui t-hitung sebesar -0,630 dengan  Sig sebesar 0.531 lebih besar dari taraf signifikansi sebesar 5% maka Ho diterima. Artinya tidak terdapat perbedaan perkembangan tatabahasa anak usia dini antara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos. Maka dapat disimpulkan bahwa Hk ditolak dan Ho diterima.
Hasil yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perkembangan tatabahasa anak usia dini antara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos ini dapat diartikan bahwa perkembangan bahasa pada anak usia dini sama-sama dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar serta teknologi yang telah maju membuat anak-anak tidak kesulitan mendapatkan kosakata baru seperti lagu anak-anak yang diputar dengan produk teknologi canggih seperti VCD, Tape Recorder dan radio.
Perkembangan bahasa pada anak usia dini berkaitan dengan segala bentuk komunikasi baik yang diutarakan dalam bentuk tulisan, lisan, bahasa gerak tubuh, bahasa isyarat, banyaknya vocabulary (kosakata) yang didapat serta pemahaman dan ekspresi wajah. Pada tahap perkembangan bahasa yang sangat cepat pada anak usia dini, anak-anak banyak melakukan kegiatan imitasi terhadap perilaku orang lain yang berada disekitarnya. Seperti peniruan pada gaya bicara, kosakata yang baru dia dengar meskipun kosakata baru tersebut tergolong kosakata yang belum pantas dikatakan oleh anak seusianya. Asumsi dari Jean Piaget adalah dalam bahasa setiap individu terdapat egosentris. Dengan menggunakan bahasanya sendiri individu membentuk skema dan mengubah skema. Skema merupakan  gambaran mengenai kehidupan. Individu sendiri yang mengkonstruksikan pengetahuan ketika berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapi. Dalam kondisi yang demikian, peserta didik pada tingkat TK mengartikan bahasa yang mereka dengar sebagai hal baru yang menarik untuknya dan dapat menarik perhatian orang lain apabila mereka mengucapkannya. Tidak sepenuhnya diartikan secara benar seperti pemahaman orang dewasa.
Pemahaman peserta didik terhadap bahasa bergantung pada skema yang dibentuk sendiri oleh anak-anak. Dengan kata lain, peserta didik pada usia TK mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain melalui daya spontan mereka. Yakni menurut Vygotsky daya spontan diperoleh dari proses belajar yang kemudian berkembang menjadi pengertian ilmiah. Juga diartikan sebagai sikap reflek atau sikap spontanitas yang ditunjukkan untuk memahami kosakata yang baru yang menghasilkan pengertian ilmiah. Pengertian ilmiah merupakan kelanjutan proses belajar dari pengertian spontan. Dalam proses ini anak usia dini dapat dikatakan sedang  melakukan  kegiatan imitasi. Dalam pandangan Vygotsky terhadap kepentingan perkembangan bahasa yang mana dapat membantu anak mengatur dan mengkombinasi pengalaman. Maksudnya adalah anak mampu mengembangkan konsep-konsep yang dibuat oleh masyarakat sekitar. Anak menggunakan bahasa untuk memahami dan mengatur pengalaman-pengalaman mereka. Karena bahasa merupakan faktor yang fundamental untuk berpikir. Berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain saat anak bermain sangat penting sebab anak dalam proses ini sedang mengembangkan bahasa dan kemampuan berpikirnya dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih berkompeten.
 Menurut Mead, proses imitasi yang dilakukan oleh peserta didik berupa proses belajar yang selalu menirukan kata yang baru mereka dengar dan menarik perhatian orang lain. Proses imitasi ini masuk dalam tahap bermain (play stage) atau fase kedua dari tahapan sosialisasi anak yang digagas oleh George Mead. Peserta didik lebih senang menirukan. Proses ini berlangsung secara alamiah pada tahap awal anak bersosialisasi yang digunakan untuk memahami bahasa sosial anak dan meningkatkan perkembangan bahasa anak. Artinya, anak usia dini pada tingkat TK hanya bisa menirukan saja tanpa memahami makna dan maksud dari perkataan dan perbuatan yang mereka tirukan. Hasil yang diperoleh dari proses belajar adalah anak belajar menjadi subjek sekaligus objek yang mulai mampu membangun diri. Hal ini tercermin dari perilaku anak yang cenderung untuk meniru ataupun memainkan peran orang lain pada dirinya.
Peserta didik mudah menirukan kata-kata buruk, dari orang dewasa dan lingkungan. Penyebabnya adalah karena interaksi yang dilakukan peserta didik tidak melulu didalam lingkungan sekolah saja. Tetapi juga dilakukan di lingkungan sekitar mereka seperti keluarga, orang-orang dewasa yang berada disekitarnya dan juga peran lingkungan itu sendiri dalam mempengaruhi perkembangan bahasa anak usia dini. Karena dalam usia TK, peserta didik memiliki peningkatan kemampuan bahasa yang sangat cepat. Meskipun mereka hanya mampu mengartikannya melalui ekspresi yang mereka berikan. Sehingga anak dapat konsisten menjalani nilai-nilai masyarakat yang diyakini. Kant meyatakan bahwa kosakata yang dimiliki peserta didik akan memunculkan moralitas. Akibatnya peserta didik mampu melahirkan rasa tanggung jawab dengan kemampuan berpikir mereka yang masih sederhana. 
Perkembangan bahasa anak usia dini banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Yakni lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, ataupun lingkungan sekitar.
Perkembangan kognitif pada setiap anak memiliki perbedaan bergantung pada kondisi sosiokultural masing-masing tempat. Saat perkembangan bahasa mnengalami peningkatan, perkembangan kognisi juga mengalami peningkatan. Dengan demikian peningkatan perkembangan bahasa juga ditandai dengan peningkatan perkembangan kognitif anak.  Kecapakan dalam berbahasa adalah salah satu penilaian dari peningkatan perkembangan kognitif pada anak usia dini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa t-hitung sebesar 2,439 dengan nilai Sig sebesar 0.017 lebih kecil dari 0,05 maka Ho ditolak. Dengan kata lain bahwa terdapat perbedaan perkembangan kognitif anak di TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos.
Peningkatan perkembangan kognitif peserta didik juga dapat dilihat melalui kesempatan peserta didik untuk belajar dan berlatih. Apabila peserta didik kurang mendapatkan keterampilan mengeksplorasi kemampuannya anak akan menjadi malas untuk belajar. Pada gilirannya, peserta didik kurang mendapatkan motivasi untuk selalu belajar. Sehingga peserta didik mengalami pertumbuhan yang lamban pada laju perkembangan kognitifnya.
Pemberian motivasi untuk selalu belajar dan berlatih juga penting untuk diperhatikan karena perkembangan kognitif peserta didik sangat penting bagi anak sebab untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan serta menggali potensi yang ada pada peserta didik. Selain pemberian motivasi, bimbingan juga diperlukan bagi peserta didik dalam mengembangkan potensi mereka. Oleh karena itu pendidik dituntut untuk mampu berdaya kreatif tinggi agar mampu memberikan contoh atau model yang benar kepada peserta didik dalam proses belajar. Seperti untuk mendapatkan hasil menggambar yang indah, pendidik selaku pembimbing di sekolah selalu melakukan kontrol dan selalu mengamati gambar peserta didik serta mengarahkan peserta didik dalam penggunaan warna digambar dengan daya imajinasi peserta didik. Bimbingan ini dilakukan secara continue dan konsisten sehingga peserta didik tidak merasakan kesulitan. Dalam posisi yang demikian, pendidik hanya memberi dukungan.
Pendidik menyediakan pengalaman belajar yang cukup untuk membantu peserta didik berpindah pada tahapan bermain yang lebih tinggi. Tahapan bermain lebih tinggi diartikan Mead sebagai tahapan ketiga dalam teori sosialisasinya yakni tahap bertindak atau tahap permainan. Pada tahap ini peserta didik mulai mampu menemukan apa yang akan mereka lakukan.  Dalam hal ini  peserta didik lah yang memiliki andil besar dalam memutuskan warna apa yang akan dipakainya untuk memperindah hasil gambarnya.  Dalam posisi yang demikian, Vygotsky menggunakan istilah ZPD (Zone of Proximal Development) atau zo-ped yaitu suatu wilayah atau tempat bertemu antara pengertian spontan anak dengan pengertian sitematis atau logis orang dewasayang dipakai untuk menggambarkan rentang pembelajaran anak dalam situasi tertentu. Seperti halnya contoh diatas yakni menggambar indah. Pada wilayah zo-ped ini, pengertian spontan anak menunjukkan apa yang anak dapat saat bermain sendirian dan pada pengertian ilmiah atau sistematis bahwa melalui bantuan pendidik, peserta didik mampu menyelesaikan gambar yang dibuatnya. Hasilnya, peserta didik dapat menunjukkan kemampuan mewarnai gambar pada tahapan yang lebih cepat dan bagus daripada saat melakukannya sendirian.
Menurut Kant, karakter merupakan corak pikiran seseorang atau disebut dengan denkungsart. Corak pikiran antara satu anak dengan yang lainnya itu berbeda. Sehingga pendidik mempelajari karakter peserta didik melalui cara yang berbeda-beda pula.  Dan juga corak pikiran pada anak sulit ditebak karena adanya kontrol yang kurang pada perilaku peserta didik. Setiap sekolah memiliki konsep sendiri dalam menyampaikan pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan moral dan karakter.
Dari kedua tempat penelitian, peserta didik telah mendapatkan pendidikan karakter secara langsung maupun secara tidak langsung di sekolah mereka. Dekatnya lokasi Kecamatan Nganjuk dengan pemeritahan kota Kabupaten Nganjuk juga memberikan suguhan yang berbeda pula dengan Kecamatan Ngetos. Di Kecamatan Nganjuk banyak terdapat spanduk-spanduk di perempatan atau pertigaan jalan raya yang mengajak masyarakatnya untuk menggalakan dan memperhatikan pendidikan karakter pada anak-anak mereka yang masih kecil maupun yang sudah dewasa. Seperti ajakkan untuk menciptakan kota Nganjuk yang berwibawa, indah, bermartabat, dan sukseskan pendidikan karakter anak bangsa. Selain adanya dorongan atau ajakan  dari pemerintah, lembaga sekolah juga telah menyampaikan pendidikan karakter melalui pembiasaan atau perilaku sehari-hari pendidik yang memberikan contoh tauladannya kepada peserta didik meskipun dirumah peserta didik juga mendapatkan perhatian dari keluarga.
Alat pendukung yang dipakai dalam menyampaikan pelajaran yang terkait dengan pendidikan karakter adalah majalah (LKS), gambar dan pembelajaran dengan model bercerita. Lain halnya dengan proses penyampaian pendidikan karakter di Kecamatan Ngetos. Disana pendidik berperan sebagai tokoh utama dalam memberikan contoh sikap tauladan kepada peserta didik. Alat pendukung yang sama dipakai juga oleh pendidik TK yang ada di Kecamatan Ngetos. Tetapi, pendidik lebih bekerja keras. Karena kondisi sosiokultur yang berbeda pula membuat walimurid sepenuhnya menitipkan anaknya untuk dibimbing secara benar dan apik oleh pendidik. Melalui pembelajaran yang setiap hari dilakukan di sekolah, seperti pembiasaan peserta didik untuk selalu tanggap dan sadar membuang sampah pada tempatnya dan berdo’a sebelum makan, bersaing untuk mendapatkan nilai atau menyelesaikan tuas yang diberikan oleh pendidik atau yang lainnya yang setiap hari ditegaskan oleh pendidik dengan penyampaian yang sesuai dengan pemahaman peserta didik yang masih sederhana. Hal tersebut juga sesuai dengan grand design yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Nasional 2010 bahwa pendidikan karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural itu berkaitan dengan kepedulian sosial, aspek kejujuran, mengajarkan olah pikir (kecerdasan, dan rasa ingin tahu yang besar), olahraga dan Kinestetik (ketangguhan, keceriaan dan kompetitif). Sehingga proses pembentukkan karakter pada peserta didik memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi anak yang berkarakter. Hal ini senada dengan Ratna Megawangi yang menyebutkan bahwa karakter dapat dibentuk dengan baik melalui proses knowing the good, loving the good, acting the good (suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, kebiasaan dan fisik secara sistematis dan gradual sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan anak ).
Pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak dalam konteks pendidikan karakter merupakan inti permasalahan dari penelitian ini. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat diketahui bahwa secara keseluruhan berdasarkan uji hipotesa yang sebelumnya yang terkait dengan sosiokultural, perkembangan tatabahasa dan kognitif serta pendidikan karakter menjawab bahwa terdapat sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak dalam konteks pendidikan karakter. Namun, untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak dalam konteks pendidikan karakter antara TK se Kecamatan Ngetos dengan TK se Kecamatan Nganjuk diperlukan pengujian hipotesa lanjutan.
Berdasarkan hasil pengujian dengan SPSS dapat diketahui bahwa t-hitung sebesar 2,206 dengan nilai Sig sebesar 0.031 lebih kecil dari ketentuan taraf signifikansi sebesar 5% maka Hk diterima dan Ho ditolak. Artinya, terdapat perbedaan pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter  antara TK se Kecamatan Ngetos dengan TK se Kecamatan Nganjuk. Sehingga dapat menjawab dari hipotesa yang telah diajukan sebelumnya.
Secara keseluruhan dapat diketahui hasil dari uji SPSS bahwa terdapat perbedaan pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter  antara TK se Kecamatan Ngetos dengan TK se Kecamatan Nganjuk. Hal ini dapat dilihat dari letak geografis dan sosiokultur yang berbeda antara kedua tempat meskipun teknologi maju sudah ada di kedua tempat tersebut.
Menurut Vygotsky, perkembangan tatabahasa anak yang juga berpengaruh pada perkembangan kognisinya dipengaruhi oleh kuatnya peran lingkungan yang ada disekitar peserta didik. Karena menurutnya gaya bicara, dan pola kehidupan yang berbeda pada kedua tempat tersebut juga menyebabkan hasil pengaruh yang berbeda pula. Seperti yang diterangkan para sosiokulturalis bahwa aktivitas di dalam lingkungan selalu dipengaruhi oleh partisipasi seseorang dalam praktek kegiatan yang diorganisasikan secara kultural, misalnnya dalam interaksi didalam ruang kelas. Anak usia dini pada tingkat anak Taman Kanak-kanak (TK) berpartisipasi secara intens didalam kelas maupun di luar kelas di lembaga sekolah. Interaksi anak-anak selalu dan sering kali mendapatkan pengaruh dari lingkungan (sosiokultural). Di sini sosiokultural dilihat sebagai produk manusia artinya kumpulan seperangkat pengalaman manusia, maka sosiokultural itu selanjutnya akan menentukan pola dan gaya hidup suatu masyarakat, baik mengenai bahasa maupun pola kehidupan secara berkarakter sesuai dengan proses penggalakkan pendidikan karakter di lembaga-lembaga sekolah berdasarkan sosiokulturalnya.
Dari hasil kuisioner yang diperolesh dari lapangan terkait dengan pengaruh sosiokultural, perkembangan tatabahasa dan kognitif anak usia dini serta pendidikan karakter memperlihatkan bahwa faktor-faktor adanya perbedaan pengaruh sosiokulturalterhadap perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter antara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos yakni berdasarkan letak geografis antara tempat satu dengan lain sudah menunjukkan perbedaan. Lingkungan Kecamatan Nganjuk yang berada di pusat kota Kabupaten Nganjuk dengan fasilitas yang cukup memadai seperti teknologi dan transportasi serta dekatnya lokasi TK dengan swalayan, alun-alun, SMA/SMK dan pusat pemerintahan. Sistem beberapa sekolah TK yang sudah menggunakan fullday School (yakni sekolah dengan lama KBM dimulai pukul 07.30 WIB – 15.00 WIB) dan semi fullday School (yakni sekolah dengan lama KBM dimulai pukul 07.30 WIB – 12.30 WIB) .Sedangkan lingkungan Kecamatan Ngetos yang berada di kaki gunung Wilis membuat akses perkembangan anak juga terhambat. Disana sulit transportasi dan jauh dari perkotaan. Namun, interaksi peserta didik dengan lingkungan tetap berlangsung. Dan TK di Kecamatan Ngetos belum menyediakan sekolah dengan sistem fullday School.
Terlepas dari perbedaan yang ada. Berdasarkan temuan data menunjukkan bahwa sosiokultural selalu berperan sebagai faktor utama dalam perkembangan tatabahasa dan kognitif anak yang dapat terbaca oleh pendidik sebagai orangtua kedua dari peserta didik didalam lingkungan sekolah. Sekitar 60-75 % waktu dalam sehari, anak-anak berada diluar rumah. Dalam waktu yang tidak singkat, mereka habiskan untuk berada didalam lingkungan sekolah ataupun lingkungan diluar rumah. Sehingga secara tidak langsung peserta didik dengan baik berinteraksi dengan teman-temannya, pendidik dan warga sekitar meskipun dalam tatanan perilaku dan bahasa yang kurang tepat pemakaiannnya juga dalam hal pembentukan karakter anak.(2) Teknologi yang telah lebih maju, sarana pendukung yang banyak dan tersedia yang dapat mempercepat tumbuh kembang anak dalam hal kemampuan (skill) dalam aspek tatabahasa dan kognitif. Media teknologi sebagai media pendukung merupakan sarana pendukung bagi perkembangan tumbuh kembang anak. Dengan menggunakan media pendukung selain lingkungan interaksi, teknologi dipandang sebagai media pendukung yang pas karena mudah didapat dan dioperasikan oleh anak-anak. Sehingga tidak mengherankan apabila anak usia dini pada zaman sekarang mampu berkata dan berperilaku yang identik dengan perkatan dan perilaku yang mereka lihat dan dengar melalui media pendukung (VCD, TV, dan Tape Recorder). (3) Praktek imitasi yang dilakukan peserta didik sangat kuat. Sehingga peserta didik lebih suka menirukan gaya orang lain. dan (4) Kurang adanya kontrol diri pada peserta didik. Karena kurang adanya perhatian dari orang tua menjadi alasan utama. Dan didukung dengan emsoional atau sifat egoisme peserta didik yang masih tinggi.

PENUTUP
·          Kesimpulan
Berdasarkan  hasil kuisioner dari lapangan yang telah dioperasikan melalui sistem komputerisasi program SPSS menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak dalam konteks pendidikan karakter juga terdapat perbedaan antara dua tempat yang menjadi lokasi penelitian yakni Kecamatan Nganjuk dan Kecamatan Ngetos. Berikut rincian kesimpulan berdasarkan pengujian hipotesa per variabel.
o   Varibel x (pengaruh sosiokultural)
o   Dari hasil pengujian SPSS dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh sosiokultural antara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos.
o   Variabel antara I
o   Pada variabel antara I ini menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan perkembangan tatabahasa anak usia dini antaraTK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos. Namun tidak mempengaruhi hasil akhir yang menunjukkan adanya perbedaan perkembangan tatabahasa anak usia dini antara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos.
o   Varibel antara II
o   Pada variabel antaraII ini menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan perkembangan kognitif anak usia dini antaraTK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos.
o   Variabel y (pendidikan karakter)
o   Berdasarkan uji SPSS dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendidikan karakter anak usia dini antara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos.
            Dari data kuantitatif yang ditemukan di lapangan, terdapat faktor-faktor adanya pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter sebagai berikut :
o   Interaksi peserta didik atau proses sosialisasi berlangsung sebanyak 60-75% waktu dalam sehari dihabiskan di lingkungan sekolah maupun diluar rumah.
o   Teknologi yang sudah maju.
o   Praktek imitasi yang kuat
o   Kurang adanya perhatian dari orangtua.
o   Emosi dan sifat egoisme yang masih tinggi.
Dan faktor-faktor adanya perbedaan pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter sebagai berikut:
o   Lingkungan Kecamatan Nganjuk yang berada di pusat kota Kabupaten Nganjuk dengan fasilitas yang cukup memadai seperti teknologi dan transportasi serta dekatnya lokasi TK dengan swalayan, alun-alun, SMA/SMK dan pusat pemerintahan.
o   Lingkungan Kecamatan Ngetos yang berada di kaki gunung Wilis membuat akses perkembangan anak juga terhambat. Disana sulit transportasi dan jauh dari perkotaan. Namun, interaksi peserta didik dengan lingkungan tetap berlangsung.

·         SARAN
            Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dengan judul pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks oendidikan karakter maka penulis memberikan saran untuk proses pendidikan ke depan:
o   Bahwa sudah saatnya pendidikan karakter memiliki jam pengajaran sendiri secara sistematis.
o   Proses penggalakan pendidikan karakter yang masih kurang di daerah-daerah seperti Kecamatan Ngetos membuat para orangtua belum sepenuhnya tahu mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam perkembangan tatabahasa dan kognitif anak usia dini.
o   Bagi pendidik yang sebagai teladan, juga dianggap sebagai fasilitator. Sehingga pendidik dituntut untuk mampu menyampaikan basic pendidikan karakter pada peserta didik.

Selasa, 01 Januari 2013

Critical Review_i not stupid I_


Judul   :  I not stupid
Durasi  :  105 menit
Critical Review

            Dalam film yang berjudul “i not stupid” ini menceritakan tentang gambaran pendidikan yang menganut sistem tingkat  kepandaian. Maksudnya setiap murid dikualifikasikan menurut kepandaian mereka dalam bidang matematika dan bahasa inggris. Film pendidikan yang berdurasi 105 menit ini memiliki kesamaan dalam pembelajaran pengetahuan untuk siswa tentang sistem yang dipakai setiap sekolah, seperti halnya pemakaian kualifikasi menurut kepandaian siswa dalam bidang matematika dan bahasa inggris, atau lain halnya dengan sekolah yang menerapkan sistem acak, sehingga setiap kelas terdapat murid pandai, murid sedang dan murid yang kurang pandai. Film ini dapat memberikan referensi bagi penontonnya dalam bidang pengetahuan pendidikan.
Di negara kita Indonesia, sudah jarang sekali menemukan sekolah yang memakai sistem seperti yang diterapkan di film “i not stupid” ini. Kualifikasi yang ada di Indonesia menggunakan kepandaian yang dibedakan menjadi dua yaitu ilmu exacta atau ilmu sosial, itupun hanya ada di sekolah menengah atas (SMA) atau juga menurut kemauan/kemampuan seni  siswa sendiri seperti sekolah menengah kejuruan (SMK) atau sekolah teknik menengah (STM).  Dalam film ini, sekolah favorit yang ada di Singapura ini dianggap sebagai sebuah penjara bagi murid yang berada ditingkat level bawah. Mereka yang berada di level tersebut (EM3) sering mengalami kekerasan dari murid level atas sendiri atau yang disebut dengan EM1, seperti perlakuan tidak adil, diolok2, dan dikucilkan oleh kelas EM1.  Di level EM3 diberi julukan dengan nama kelas tanpa bakat yang mana murid-muridnya kurang pandai dalam ilmu matematika dan bahasa inggris. Tidak hanya muridnya saja, tapi orang luar seperti wali murid dari EM1 juga meremehkan keberadaan murid atau kelas EM3.  Mereka dianggap sebagai seseorang tak mampu untuk belajar dan memiliki pengaruh yang buruk bagi kehidupan murid EM1. Bahkan gurunya sendiri juga meremehkan keberadaannya. Tetapi mereka memiliki keahlian sendiri-sendiri, seperti kok pin yang pandai menggambar sejak kecil yang akhirnya dapat membawa dia sebagai pelukis yang terkenal. Kemudian Terry yang memiliki sikap sangat patuh kepada ibunya membuat dia terlihat kurang pandai dihadapan teman-temannya tetapi kemampuan bahasa Chinanya sangat bagus. Yang lainnya adalah boon hock yang sebenarnya pandai bila dia rajin belajar dan mengasah pengetahuannya. Hasilnya, dia mendapatkan nilai matematika tertinggi di kelas EM3 dengan nilai 92. Sebetulnya, setiap anak memiliki kemampuan atau bakat masing-masing yang mungkin masih terpendam yang memerlukan latihan secara teratur untuk mengasah dan memunculkan bakat tersebut. Boon Hock mengajari kita tentang kerja keras tanpa putus asa yang akan membawa pada keberhasilan di lain waktu. Setiap anak memiliki potensi diri yang berbeda.
Disisi lain, film ini kurang mengajarkan tentang pendidikan moral yang mana tercermin oleh kelakuan para murid-murid kelas EM1 ataupun EM3. Mereka akan selalu membantah apa yang dikatakan guru mengenai bahasa china atau pun yang berada di kelas EM3 bermasalah dengan pelajaran matematika dan bahasa inggris yang mana bagi masyarakat Singapura, bila seseorang tidak memiliki atau kurang memiliki kemampuan itu akan sulit bertahan di masyarakat. Dan memandang sebuah “gelar” sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhi jalanya kehidupannya kelak. Pendidikan moral adalah suatu proses dimana individu mendapatkan pengajaran mengenai moralitas. Menurut Durkheim dengan adanya pendidikan moral, akan dapat menolong anak-anak mengembangkan sikap moral terhadap masyarakat. Durkheim melihat sekolah sebagai salah satu institusi yang akan memberikan landasan sosial bagi moralitas modern. Dalam film yang mengedepankan pendidikan matematika dan bahasa inggris ini kurang atau bahkan tidak mengajarkan kepada muridnya tentang pendidikan moral. Mereka senang dengan apa yang mereka lakukan atau denga kata lain, mereka kurang memperhatikan nasehat gurunya. Padahal, durkheim juga melihat ruang kelas sebagai tempat dimana kesadaran kolektif akan tercipta dengan kekuatan yang cukup untuk menanamkan sikap moral. Ruang kelas bisa memberikan pergaulan kolektif yang beragam dan penting dalam menciptakan representasi kolektif. Hal ini akan memungkinkjan pendidikan hadir untuk hadir memproduksi semua elemen moral.
Pendidikan moral tidak hanya dapat dilakukan di ruang kelas tapi juga diluar kelas seperti rumah ataupun lingkungan sekitar. Seperti yang dilakukan oleh Terry yang selalu diajarkan tentang moralitas oleh ibunya. Dia hanya patuh dengan ibunya. Tetapi pendidikan moral yang ditempa terlalu dalam akan menghasilkan perilaku yang kurang baik. Terry menerapkan demikian, dy selalu patuh dengan ucapan orang dewasa sehingga membuatnya dalam masalah besar. Di film ini tujuan pendidikan moralitas tidak tercipta karena kurangnya pendidikan moralitas yang ada disana. Film ini hanya mngedepankan gelar sebagai sesutau yang tinggi yang dihargai oleh masyarakat. Tujuan pendidikan itu sndiri adalah pendidikan moralitas akan memberikan individu kedisiplinan yang mereka butuhkan untuk mengendalikan nafsu yang mengancam mereka, bisa mengembangkan suatu rasa pengabdian terhadap masyarakat dan sistem moral dalam diri murid, dan peran pendidikan dalam pengembangan otonomi, dimana kedisiplinan dinginkan secara sukarela dan keterikatan terhadap masyarakat lahir dari persetujuan yang mencerahkan. Pendidikan moral yang terdapat di film ini adalah  melihat suatu “gelar“ sebagai alat yang dapat mempertahankan individu dalam masyarakat, dimana individu tersebut akan dipandang oleh masyarakat lain. Sedangkan individu atau masyarakat yang tidak memiliki gelar akan diremehkan keberadaannya oleh masyarakat lainnya. Dalam suatu jalannya pendidikan, pendidikan moral merupakan pendidikan awal bagi murid untuk patuh terhadap guru. Sebenarnya mengajarkan moralitas bukan untuk mendoktrin, akan tetapi untuk menjelaskan bagaimana pendidikan moral yang sebenarnya. Sehingga bila pendidikan moral kurang diterapkan dimasyarakat, masyarakat tersebut perlu melakukan reformasi terhadap sistem yang dipakainya,bukan dari para filsuf atau sosiolog, tapi dari kekuatan masyarakat itu sendiri dalam memahami moralitas.
Di dalam kacamata sosiologi pendidikan, melihat permasalahan ini dari intelegensi seseorang yang berbeda-beda. Intelegensi adalah tingkat kecerdasan seseorang. Individu dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan cerdas dan golongan pintar. Golongan cerdas adalah golongan yang memiliki kemampuan untuk merefleksikan keadaan atau juga dipengaruhi oleh faktor gen. Sedangkan golongan pintar adalah golongan yang memiliki kemampuan memahami sesuatu yang dapat dibentuk melalui pembelajaran matteri secara tekun atau dapat juga melalui hafalan dan pengalaman kehidupannya. Seperti yang ada disekolah favorit tersebut, yang melihat seseorang dari tingkat intelegensinya. Sebenarnya seseorang memiliki modal yang sama, hanya saja tergolong intelegensi yang mana, kalau digolongan pintar, mereka hanya memerlukan sedikit atau banyak waktu untuk belajar memahami permasalahan atau pelajaran. Sedangkan pada golongan cerdas memiliki kemampuan merespon secara cepat suatu permasalahan atau pelajaran. Untuk mengetahui seseorang dalam penguasaan materi, intelegensi terdapat test yang dinamakan test Bjinet dan pengalaman yang berorientasi pada IQ seseorang. Dalam kehidupan menggolongan keintelegensian seseorang dirasa perlu, karena individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda, Seperti yang digambarkan oleh film yang berjudul “i not stupid” ini. Tetapi penggolongan yang dilakukan dalam film ini kurang spesifik. Sehingga anak yang kurang pandai dalam matematika diharuskan bisa menghadapi soal matematika dan bahasa inggris. Spesifikasi yang kurang spesifik ini menjadi anak yang kurang pandai seperti kok pin memilih jalan yang hampir salah yaitu bunuh diri. Tetapi motovasi guru juga menjadi syarat bagi terciptanya semangat belajar seorang murid. Hal ini tercermin dari boon hock yang masih mau mengasah kemampuannya yang akhirnya mendapatkan hasil yang memuaskan. Segala sesuatu haruslah dipelajari dulu dan jangan putus asa terlebih dahulu, karena selalu ada jalan bila kita mau berusaha. Dan Terry sudah mampu memutuskan sesuatu yang besar dalam kehidupannya. Semua memang melalui proses yang panjang ataupun singkat tetapi mendapatkan hasil yang serupa. Kecerdasan seseorang tidak dapat dipaksakan tetapi dapat diasah melalui metode yang berbeda-beda.