Berhenti Untuk Menyalahkan!!
Zaman telah berubah, sudah tua untuk
digugat, sudah rapuh untuk berbuat apa yang dikehendaki manusia. Setiap manusia
menginginkan segala sesuatunya sempurna. Hal yang sering kali dilakukan manusia
adalah berusaha untuk menjadi yang terbaik bagaimanapun caranya. Berbeda dengan
seorang peserta didik, mereka juga merupakan manusia. Tetapi letak kesadaran
kritis atas keadaan yang krisis seakan di gembok
oleh kekuasaan budaya pendidik yang selalu membiasakan peserta didik pasif
dalam proses belajar mengajar. Dan kebiasaan peserta didik yang menerima apa
saja yang diberikan oleh guru. Yang mana seorang guru atau pendidik merupakan
satu-satunya tempat ilmu. Pendidik seperti layaknya bank ilmu yang memiliki
segudang ilmu untuk diterangkan kepada peserta didiknya. Dan hal ini dibuktikan
dengan sebagian pendidik yang menerapkan sikap yang otoriter dalam proses
mengajarnya. Yang lebih lucunya, peserta didik tidak berani untuk membangkang
semua intruksi yang dikeluarkan oleh pendidik. Mengkonsepkan segala materi
belajar dari penjelasan pendidik. Tidak ada peserta didik yang berkata “
mengapa bapak atau ibu tidak menerangkan terlebih dahulu?” kata seorang petani
di sebuah kelompok belajar di sebuah daerah.
“ Maafkan kami, kami harus tenang
dan mendengarkan bapak atau ibu
menerangkan materi yang ada. Bapak atau ibu adalah orang yang memiliki
pengetahuan, sedangkan kami (peserta didik) tak tahu apa-apa”. Pernyataan
tersebut bukan berarti sebuah bantahan dari peserta didik tapi sebuah ungkapan
yang dinyatakan oleh peserta didik dalam hatinya. Sekolah yang digambarkan
sebagai tempat untuk para peserta didik menimba ilmu menjadi tempat penindasan
kreatifitas bagi peserta didik. Peserta didik dilakonkan sebagai kaum tertindas
dan pendidik sebagai pemilik kekuasaan atau sering digambarkan sebagai
penindas. Dimana posisi yang demikian
dapat mengkungkung kesadaran kritis yang dimiliki peserta didik. Di satu sisi,
sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun
terkadang dalam prakteknya justru bertindak otoriter dan anti demokratis dengan
tidak memberi kesempatan pada peserta didik untuk menumbuhkan pribadi yang
kritis, toleransi dan multikulturalisme. Sekolah mempunyai slogan “
mencerdaskan anak bangsa”, tetapi pendidikan hanya didapatkan oleh anak-anak
yang memiliki modal dan kapital. Iklan yang mengatakan “ pendidikan gratis 9
tahun” , tetapi kembali lagi pada fakta yang ada. Iklan hanyalah iklan, yang
mana dapat diketahui hanya merupakan alat rayuan, janji, dan memabukkan orang
yang mendengar. Bukan untuk menunjukan fakta. Padahal sekolah punya visi untuk
menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti diskriminasi, tapi tidak
mengakomodasi kelompok minoritas seperti kaum miskin. Sekolah dan pendidik
terlanjur dipersepsikan sebagai media belajar bagi semua, tapi realitasnya
hanya mengakomodasi anak yang pintar, pandai, dan cerdas dan mengeksklusi anak
yang pintar yang punya keterbatasan intelektual. Dari sini diperlukan membangun
kesadaran kritis peserta didik agar mereka mampu mendemistifikasi kepentingan
ideologis yang menyelimuti realitas. Kesadaran yang kritis merupakan kunci bagi
awal proses pendidikan kritis, sebab penindasan, dominasi dan eksplotasi itu
berlangsung karena terdegradasinya fakultas kritis manusia. Kesadaran kritis
adalah mode of thought yang mampu
menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang
hanya berdasarkan, seperti istilah Antinio Gramsci tentang “common sense.” Critical consciousness mampu
dikembangkan lewat kesadaran diri peserta didik atas atas posisi peserta didik
yang digambarkan sebagai kaum tertindas. Yangmana lahir lewat usaha yang
kreatif dari dalam peserta didik sendiri, dimana kesadaran kritis tidak bisa
dicangkokkan.
Lewat kesadaran kritis yang tumbuh
di dalam diri peserta didik mampu menciptakan pendidikan kritis secara nyata di
lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah. Karena sekolah memiliki visi sosial
dan pendidikan yang berbasis pada keadilan dan kesetaraan ini tidak hanya
tertuang pada tulisan dan kata, tetapi juga termanifestasikan dalam praktek
pendidikan sehari-hari. Tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal, dan ketidak
konsistenan antara apa yang dikonstruksikan secara normatif dengan praktek di
lapangan. Fakta menunjukan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu,
kontradiktif dan paradoks. Sebenarnya proses pendidikan kritis sudah dilakukan
melalui penyelenggaraan belajar mengajar di kelas. Ciri-ciri dari pendidikan
kritis adalah pertama, belajar dari realitas atau pengalaman yakni pengalaman
seseorang yang terlibat dalam keadaan nyata. Sehingga tidak ada otoritas
pengetahuan seseorang yang lebih tinggi dari yang lainnya. Keabsahan
pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan
atau pengalaman langsung yangmana bukan dari teori-teori saja. Kedua, tidak
menggurui yakni antara pendidik dan peserta didik tidak saling menggurui. Tak
ada peserta didik dan tak ada pendidik yang digurui. Semua orang yang berada di
kelas terlibat dalam proses pendidikan yaitu pendidik dan peserta didik pada
saat yang bersamaan. Ketiga, dialogis yakni berlangsungnya komunikasi dua arah
antara pendidik dan peserta didik. Bukan bersifat satu arah. Sehingga proses
komunikasi ini memungkinkan dapat menciptakan dialogis yang kritis antar orang
yang terlibat.
Pendidikan kritis saat ini mungkin
tidak tererealisasikan dengan baik. Tetapi setidaknya sudah ada usaha dari
peserta didik untuk mengubah konsep pengajaran pendidik untuk tidak selalu
bersikap otoriter. Dalam keadaan yang demikian, tidak dapat seseorang menyalahkan
satu sama lain. Karena akan menjadi tidak berguna bilamana masyarakat saling
menyalahkan untuk masalah sekolah. Tapi lebih bagaimana masyarakat atau peserta
didik menumbuhkan kesadaran kritisnya untuk mendistribusikan pengalaman dan
pengetahuannya dalam hal kemampuan belajar kepada peserta didik lainnya untuk
bisa melakukan hal yang sama dengan motivasi yang sama yakni menghapuskan
pendidikan otoriter dan menumbuhkan pendidikan kritis yang dapat membantu
peserta didik lepas dari lakonnya sebagai kaum tertindas. Dan memulai semangat
berjuang lagi untuk kemakmuran peserta didik. Dalam hal ini kemakmuran peserta
didik dalam mengeluarkan kretifitas mereka agar sekolah memiliki variasi yang
menyenangkan bagi proses belajar mengajar. Tidak lagi melihat sekolah sebagai
penjara kreatifitas tetapi tempat lahirnya kretifitas-kreatifitas yang
cemerlang seperti halnya memiliki gagasan untuk memberikan pendidikan kepada
mereka(orang tua) yang buta huruf. Membantu mengentaskan buta huruf di
lingkungannya sudah merupakan bukti adanya kesadaran kritis dan proses
pendidikan kritis dalam diri peserta didik. Di dalam kelas, peserta didik dapat
memperlihatkan pendidikan kritis yang terjadi dengan adanya dialogis atau
komunikasi dua arah antar peserta didik dan pendidik. Dimana peserta didik
memeiliki pengetahuan lewat buku yang dimiliki atau media lain yang membantunya
dalam mempelajari materi yang diterangkan oleh pendidik dan pendidik telah
memiliki pengetahuan lewat pendidikan yang telah ditempuhnya. Bukan lagi proses
pendidikan “bergaya bank” berkembang pesat yangmana peserta didik menampung
semua materi yang diberikan oleh pendidik dan bersifat satu arah, tetapi
peserta didik dan pendidik saling aktif di dalam kelas. Berhenti untuk menyalahkan pendidik yang
demikian, tetapi bagaimana peserta didik mampu menumbuhkan kesadaran kritis
yang menjadikan pendidikan lebih terkritisi lagi. Tidak lagi menyalahkan, tapi
bagaimana peserta didik memotivasi dirinya sendiri untuk bangkit dari
ketertidansan yang selama ini tidak dirasakan. Karena menyalahkan bukan hal
yang dapat merubah semua masalah yang ada, tetapi akan memperburuk keadaan.
Mereka akan merasa putus asa dengan keadaan yang ada. Hal ini lah dampak
negatif dari menyalahkan. Jadi berhentilah untuk menyalah! Dan mulai hidup
dengan kesadaran kritis yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan
sekitar. Semangat untuk jadi yang lebih baik. Karena menyalahkan bukan usaha,
tetapi hanya perkataan. Daripada demikian, lebih baik berusaha untuk hidup
lebih kritis. Dengan memulainya di dalam kelas dan merambah ke luar kelas.
Seperti contoh yang telah dikemukakan. Semangat untuk membangun sesuatu yang
kreatif demi berlangsungnya pendidikan yang nyata bagi semua peserta
didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar