Kamis, 13 Desember 2012

copet ala manusia berpendidikan

COPET ALA MANUSIA BERPENDIDIKAN
            Mulai tahun 1998 – 2011, banyak sekali kasus korupsi yang terukap ke halayak. Dari pejabat tinggi negara seperti  alm. Soeharto sampai dengan karyawan bank seperti Melinda dee. Pengadilan yang merupakan tempat untuk mengadili sebuah kasus juga ikut larut dalam arus ketidakadilan melalui uang suap. Dimana lagi tepat yang pas untuk mengadili orang yang bermoral korup seperti mereka?          
Tidak hanya itu saja kasus korupsi yang terungkap. Pejabat pemerintahan yang berada di tingkat desa saja juga telah melakukan praktek korupsi. Ironis sekali negara Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) juga kaya dengan Sumber daya manusia (SDM) yang korup. SDA dan SDM memiliki kedudukan yang seimbang. Tetapi dalam prakteknya, SDM yang korp lebih cepat maju dan berkembang daripada SDA yang banyak yang tidak tahu bagaimana mengelolanya.
Manusia terlahir untuk memenuhi bumi. Mereka mendapatkan ilmu dalam kehidupannya. Entah itu ilmu positif ataupun negatif. Pemerintah menyuarakan kepada rakyatnya agar bersekolah. Pemerintahan telah memutuskan “sekolah gratis 12 tahun”. Tetapi, pejabat-pejabat negara yang telah mengeyam bangku sekolah tidak dapat memberikan teladan yang baik bagi masyarakatnya. Dengan pendidikan yang tinggi, mereka melakukan kejahatan seperti hal nya orang yang tak pernah sekolah yang kesulitan mencari uang yakni seorang copet. Dengan konteks yang berbeda, mereka (para pejabat) melakukan aksi mencopet dengan trik yang licin. Sekali mencopet, mereka mendapatkan uang puluhan sampai ratusan juta. Inilah yang dinamakan copet ala manusia berpendidikan. Dengan basic pendidikan yang tinggi seperti title sarjana yang telah mereka dapat, mereka mampu untuk beroperasi selama mereka masih menjabat di pemerintahan.
Dapat diketahui pendidikan itu adalah suatu kebutuhan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan juga diartikan sebagai proses memanusiakan manusia. Yangmana bertujuan untuk memuliakan manusia. Untuk orang awam yang tidak berpendidikan akan sulit untuk memahami apa  arti sebenarnya dari pendidikan diatas. Yang mereka tahu, pendidikan adalah uang. Sehingga orang mau bersekolah harus memiliki uang yang lebih. Padahal pendidikan bagi mereka merupakan alat untuk meloncat dari jurang kebodohan dan kemiskinan. Meskipun itu memerlukan proses yang tidak singkat. Hal ini dapat digambarkan secara umum bahwa dengan pendidikan, manusia dapat mendapatkan pekerjaan melalui ijazah sekolah ataupun ketrampilan yang mereka punyai. Dan tergambar pula pada tindakan-tindakan pejabat-pajabat pemerintahan yang korup. Dengan pendidikan, mereka mendapatkan pengetahuan untuk bagaimana mendapatkan pekerjaan dan uang. Copet yang sebenarnya, sekali mencopet pasti dapat dompet yang belum tentu ada isinya (uang). Lain halnya dengan copet profesional dengan basic pendidikan tinggi. Mereka telah mengetahui berapa uang yang akan mereka dapatkan dari usaha mencopet uang rakyat.
Dalam film yang berjudul “Alangkah Lucunya Negeri ini” menceritakan bahwa copet kecil perlu pendidikan agar dapat mengubah tindak kejahatanya sebagai pencopet menjadi seorang lebih baik lagi daripada pencopet yaitu asongan. Meskipun hasil asongan yang didapatkan sedikit, setidaknya mereka telah belajar untuk mendapatkan uang yang halal dan tidak lagi merugikan orang lain. Film inilah yang dibutuhkan oleh para koruptor. Apakah mereka tidak malu akan keberadaan pencopet kecil jalanan yang mau merubah cara untuk memperoleh uang yang halal dengan keterbatasan pendidikan yang diperolehnya?????
Para koruptor dengan latarbelakang pendidikan yang bagus mencoba melegitimasi aksinya dengan kasus-kasus baru yang seakan kasus korup yang sebelumnya telah selesai dibahas. Meskipun belum ada keputusan resmi dari pengadilan yang dianggap korup pula. Seperti halnya yang diungkap oleh Habermas bahwa legitimasi dirancang untuk memistifikasi sistem politik, yang mana membantunya mengaburkan hal-hal yang sesungguhnya terjadi. Legitimasi merupakan sistem gagasan yang dibangun oleh sistem politik. Korupsi juga hasil aksi politik yang ruwet. Korupsi merupakan hal yang telah terkultur dengan sendirinya di Indonesia. Inilah kebiasaan Indonesia yang seakan secara tidak sengaja kasus korupsi tertutup dengan sendirinya oleh berita-berita lain yang lebih menarik perhatian masyarakat. sehingga masyarakat umum tidak mampu menjawab keberadaan uangnya di pemerintahan. Untuk apa? kapan digunakan? apa bentuknya? Mereka juga tidak tahu. Yang demikian yang selalu terjadi di Indonesia.
Melalui pendidikan, mereka (para koruptor terpelajar) tidak puas dengan apa yang diperolehnya sekarang ini. Mereka ingin memperkaya dirinya dengan andil bahwa pendidikan yang ditempuhnya mahal. Sehingga mereka harus dapat mencari uang dengan mudah. Seperti halnya korupsi. Reproduksi para calon koruptor telah menanti. Tinggal menunggu kapan akan melakukan praktek korupsi. Sulit memang untuk memberantas tindakan tersebut. Tetapi hal itu dapat ditumbuhkan dari perilaku masing-masing individu yang mencoba berusaha untuk jujur pada dirinya sendiri dan TUHAN. Manusia mungkin tidak sempurna, tapi mereka mencoba mencapai kesempurnaan dengan kejujuran. Akan  lebih baik daripada membohongi dirinya, orang lain dan TUHAN.
Sedikit coretan yang mungkin belum bisa mengungkap aksi para koruptor. Setidaknya memberikan cerminan kepada masyarakat bahwa pendidikan bukan alat untuk mencopet uang rakyat. Pendidikan membantu kita untuk memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik menurut individu maupun kelompok.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar