COPET ALA MANUSIA BERPENDIDIKAN
Mulai
tahun 1998 – 2011, banyak sekali kasus korupsi yang terukap ke halayak. Dari
pejabat tinggi negara seperti alm.
Soeharto sampai dengan karyawan bank seperti Melinda dee. Pengadilan yang
merupakan tempat untuk mengadili sebuah kasus juga ikut larut dalam arus ketidakadilan
melalui uang suap. Dimana lagi tepat yang pas untuk mengadili orang yang
bermoral korup seperti mereka?
Tidak hanya itu saja
kasus korupsi yang terungkap. Pejabat pemerintahan yang berada di tingkat desa
saja juga telah melakukan praktek korupsi. Ironis sekali negara Indonesia yang
kaya dengan sumber daya alam (SDA) juga kaya dengan Sumber daya manusia (SDM)
yang korup. SDA dan SDM memiliki kedudukan yang seimbang. Tetapi dalam
prakteknya, SDM yang korp lebih cepat maju dan berkembang daripada SDA yang
banyak yang tidak tahu bagaimana mengelolanya.
Manusia terlahir untuk
memenuhi bumi. Mereka mendapatkan ilmu dalam kehidupannya. Entah itu ilmu
positif ataupun negatif. Pemerintah menyuarakan kepada rakyatnya agar
bersekolah. Pemerintahan telah memutuskan “sekolah gratis 12 tahun”. Tetapi,
pejabat-pejabat negara yang telah mengeyam bangku sekolah tidak dapat
memberikan teladan yang baik bagi masyarakatnya. Dengan pendidikan yang tinggi,
mereka melakukan kejahatan seperti hal nya orang yang tak pernah sekolah yang
kesulitan mencari uang yakni seorang copet. Dengan konteks yang berbeda, mereka
(para pejabat) melakukan aksi mencopet dengan trik yang licin. Sekali mencopet,
mereka mendapatkan uang puluhan sampai ratusan juta. Inilah yang dinamakan
copet ala manusia berpendidikan. Dengan basic pendidikan yang tinggi seperti
title sarjana yang telah mereka dapat, mereka mampu untuk beroperasi selama
mereka masih menjabat di pemerintahan.
Dapat diketahui pendidikan
itu adalah suatu kebutuhan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Pendidikan juga diartikan sebagai proses memanusiakan manusia. Yangmana
bertujuan untuk memuliakan manusia. Untuk orang awam yang tidak berpendidikan
akan sulit untuk memahami apa arti
sebenarnya dari pendidikan diatas. Yang mereka tahu, pendidikan adalah uang.
Sehingga orang mau bersekolah harus memiliki uang yang lebih. Padahal
pendidikan bagi mereka merupakan alat untuk meloncat dari jurang kebodohan dan
kemiskinan. Meskipun itu memerlukan proses yang tidak singkat. Hal ini dapat
digambarkan secara umum bahwa dengan pendidikan, manusia dapat mendapatkan
pekerjaan melalui ijazah sekolah ataupun ketrampilan yang mereka punyai. Dan
tergambar pula pada tindakan-tindakan pejabat-pajabat pemerintahan yang korup.
Dengan pendidikan, mereka mendapatkan pengetahuan untuk bagaimana mendapatkan
pekerjaan dan uang. Copet yang sebenarnya, sekali mencopet pasti dapat dompet
yang belum tentu ada isinya (uang). Lain halnya dengan copet profesional dengan
basic pendidikan tinggi. Mereka telah mengetahui berapa uang yang akan mereka
dapatkan dari usaha mencopet uang rakyat.
Dalam film yang
berjudul “Alangkah Lucunya Negeri ini” menceritakan bahwa copet kecil perlu
pendidikan agar dapat mengubah tindak kejahatanya sebagai pencopet menjadi
seorang lebih baik lagi daripada pencopet yaitu asongan. Meskipun hasil asongan
yang didapatkan sedikit, setidaknya mereka telah belajar untuk mendapatkan uang
yang halal dan tidak lagi merugikan orang lain. Film inilah yang dibutuhkan
oleh para koruptor. Apakah mereka tidak malu akan keberadaan pencopet kecil
jalanan yang mau merubah cara untuk memperoleh uang yang halal dengan
keterbatasan pendidikan yang diperolehnya?????
Para koruptor dengan
latarbelakang pendidikan yang bagus mencoba melegitimasi aksinya dengan
kasus-kasus baru yang seakan kasus korup yang sebelumnya telah selesai dibahas.
Meskipun belum ada keputusan resmi dari pengadilan yang dianggap korup pula.
Seperti halnya yang diungkap oleh Habermas bahwa legitimasi dirancang untuk memistifikasi
sistem politik, yang mana membantunya mengaburkan hal-hal yang sesungguhnya
terjadi. Legitimasi merupakan sistem gagasan yang dibangun oleh sistem politik.
Korupsi juga hasil aksi politik yang ruwet. Korupsi merupakan hal yang telah
terkultur dengan sendirinya di Indonesia. Inilah kebiasaan Indonesia yang
seakan secara tidak sengaja kasus korupsi tertutup dengan sendirinya oleh
berita-berita lain yang lebih menarik perhatian masyarakat. sehingga masyarakat
umum tidak mampu menjawab keberadaan uangnya di pemerintahan. Untuk apa? kapan
digunakan? apa bentuknya? Mereka juga tidak tahu. Yang demikian yang selalu
terjadi di Indonesia.
Melalui pendidikan,
mereka (para koruptor terpelajar) tidak puas dengan apa yang diperolehnya
sekarang ini. Mereka ingin memperkaya dirinya dengan andil bahwa pendidikan
yang ditempuhnya mahal. Sehingga mereka harus dapat mencari uang dengan mudah.
Seperti halnya korupsi. Reproduksi para calon koruptor telah menanti. Tinggal
menunggu kapan akan melakukan praktek korupsi. Sulit memang untuk memberantas
tindakan tersebut. Tetapi hal itu dapat ditumbuhkan dari perilaku masing-masing
individu yang mencoba berusaha untuk jujur pada dirinya sendiri dan TUHAN.
Manusia mungkin tidak sempurna, tapi mereka mencoba mencapai kesempurnaan
dengan kejujuran. Akan lebih baik
daripada membohongi dirinya, orang lain dan TUHAN.
Sedikit coretan yang
mungkin belum bisa mengungkap aksi para koruptor. Setidaknya memberikan
cerminan kepada masyarakat bahwa pendidikan bukan alat untuk mencopet uang
rakyat. Pendidikan membantu kita untuk memilih apa yang baik dan apa yang
kurang baik menurut individu maupun kelompok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar