PENGARUH SOSIOKULTURAL TERHADAP PERKEMBANGAN TATABAHASA DAN KOGNITIF
ANAK USIA DINI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN KARAKTER
Ivonie Tri Nurjayanti
FIS Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Pengaruh gaya kekini-kinian mengakibatkan anak-anak yang berada pada
tingkatan anak usia dini memiliki gaya bahasa yang tidak semestinya yang
kemudian mempengaruhi pula perkembangan kognitif anak. Sehingga diperlukan
eksplorasi pendidikan karakter anak terhadap tatabahasa dan kognitif yang
dipengaruhi oleh sosiokultural melalui lembaga pendidikan formal yakni TK se
Kecamatan Ngetos dan TK se Kecamatan Nganjuk. Teori yang dipakai dalam
penelitian ini adalah Sosikultural yang berkaitan dengan perkembangan bahasa
dan kognitif dari Vygotsky dan Jean Piaget, George Herbert Mead mengenai tahap
sosialisasi, dan grand design pendidikan karakter dari Kementerian
Pendidikan Nasional 2010. Hasil dari penelitian adalah terdapat perbedaan
pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia
dini dalam konteks pendidikan karakter antara TK se Kecamatan Ngetos dengan TK
se Kecamatan Nganjuk.
Kata Kunci : Sosiokultural, Perkembangan Tata Bahasa Dan Kognitif
Anak Usia Dini, Pendidikan Karakter.
Pendahuluan
Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar
dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada
masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan
anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang
menjadi penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau periode
keemasan. Disebut juga dengan masa eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa
peka, masa bermain dan masa trozt alter 1 (masa membangkang tahap 1).
Pada masa ini anak usia dini biasanya berada dalam lingkungan sekolah, yakni
pendidikan anak usia dini (PAUD) yang terdiri dari playgroup dan taman
kanak-kanak (TK). Dalam wadah pendidikan
formal (TK), PAUD di hadirkan disini agar bisa menjadi ajang sosialisasi mereka
dengan teman-teman dan lingkungannya. PAUD dianggap penting karena PAUD sebagai
titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat fundamental.
PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak
selanjutnya sebab merupakan fondasi bagi kepribadian anak selain pengaruh yang
diperoleh melalui lingkungan sekitar rumah. Anak yang mendapatkan pembinaan
sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun
mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja serta
produktivitas. Pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk
penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah
pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar),
kecerdasan atau kognitif anak (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama)
bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang
dilalui oleh anak usia dini. Dalam proses pendidikan anak usia dini diperlukan
juga pendidikan karakter anak yang dapat menunjang perkembangan anak dalam
aspek tatabahasa yang semakin kesini semakin tidak tertata layaknya dunia anak
yang sarat akan pengaruh bebas yang diperoleh dari lingkungan keluarga, sekolah
dan lingkungan sekitar. Secara sosiokultural, lingkungan mencakup segenap
stumulasi, interaksi dan kondisi eksternal dalam hubungannya dengan perlakuan
ataupun hanya karya orang lain. Sosiokultural mempunyai peran lebih aktif dalam
tahap awal sosialisasi anak usia dini. Lingkungan sosiokultural merupakan wadah
terjadinya proses yang saling mengkait antara unsur-unsur kebendaan dan
spiritual. Proses tersebut menyangkut tingkah laku manusia dan diatur olehnya.
Lingkungan tersebut diartikan sebagai lingkungan yang berada di kehidupan masyarakat,
sekolah dan keluarga. Pada keemasan, anak-anak pada usia dini banyak
melakukan kegiatan imitasi terhadap perilaku orang-orang yang berada
disekitarnya. Seperti peniruan terhadap bahasa, gaya bicara, cara berpakaian,
sampai cara bersikap.
John Locke yang merupakan
pelopor aliran empirisme berpendapat bahwa anak sejak lahir, masih bersih
seperti tabula rasa dan baru akan dapat berisi bila ia menerima sesuatu dari
luar, lewat alat inderanya. Karena itu pengaruh dari luar akan lebih kuat
daripada pembawaan manusia. Seperti halnya Sandy, anak yang berusia sekitar 5
(lima ) tahun berasal dari malang. Yang mana videonya telah tersebar luas di
telepon genggam sebagian masyarakat Indonesia dan sempat pula ditanyangkan di
televisi. Tersebutkan didalam video, Sandy berperilaku layaknya orang dewasa
yang sudah terbiasa menghisap rokok, berkata kotor dan bersikap cenderung
kurang santun. Perilaku merokok anak-anak lebih banyak diakibatkan oleh
perilaku dari orangtuanya yang merokok sehingga mereka mencontohnya serta
pengaruh iklan yang dengan gencarnya mempromosikan produk rokok. Atau anak
berkata kasar/jorok atau berperilaku seperti orang dewasa bisa karena menikmati
reaksi orang-orang di sekitarnya, seperti ia ditertawakan seolah-olah itu lucu
dan menghibur, atau diperhatikan dengan rasa kaget dan ingin tahu dari
lingkungannya dan anak berkata kasar/ jorok bisa juga karena ia menirunya dari
teman di sekolah, sekadar iseng, atau saat ia merasa marah dan mengetahui bahwa
kata yang diucapkan dapat memancing kekesalan orang lain, atau hanya karena
sedang mempelajari kata-kata yang baru dan senang dengan bunyi kata itu tanpa
mengetahui artinya.
Penelitian yang berjudul pengaruh sosiokultural terhadap
perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan
karakter adalah menitiberatkan pada masalah pendidikan karakter dalam aspek
perkembangan bahasa dan kognitif anak usia dini.Karena dalam lingkungan
sekolah, pendidik merupakan orang yang setiap harinya mengerti kondisi dari
peserta didik dalam menangkap pelajaran yang disampaikan. Sehingga data yang
diambil oleh peneliti nantinya akan valid dan sesuai dengan data yang ada di
lapangan. Penelitian ini mencoba mengkomparasikan fenomena yang terjadi di
pedesaan dan perkotaan yang masih dalam satu rumpun kebudayaan. Anak usia dini
yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah anak usia TK, karena peneliti
beranggapan bahwa pola-pola kepribadian mereka belum terbentuk. Masih polos dan
sangat mungkin untuk dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua atau pun
terkonstruk melalui sosiokultural termasuk pembentukan karakter. Berdasarkan
tempat dan lingkungan yang berbeda, Kota yang memiliki pengaruh yang lebih
besar bagi perkembangan pertumbuhan anak akan sama hasilnya dengan pengaruh
yang tercipta di lingkungan sekolah yang berada dipedesaan. Kota merupakan
tempat perkembangan sosial ekonomi yang maju dari pada desa. Di kota sering
terjadi perubahan nilai pada kelompok atau individu tertentu yang memiliki
nilai yang kurang terikat yang sesuai dengan perannya. Sehingga menimbulkan
perilaku yang kurang mendukung bagi perkembang kota itu sendiri. Akibatnya,
sedikit sekali terjadi interaksi antar individu satu dengan individu yang lain.
Beberapa hal yang menjadi penyebab permasalahan yang dihadapi oleh
anak usia dini belum optimal dalam memperoleh pendidik karakter anak yang
berkaitan dengan perkembangan tata bahasa anak usia dini adalah pengaruh
pergaulan lingkungan sekitar rumah yang lebih besar peranannya daripada
pengaruh yang diberikan lewat sekolah ataupun keluarga, ketertarikan anak-anak
dalam pemahaman bahasa yang baik ataupun kurang baik sangat kurang, proses
kegiatan belajar mengajar yang terjadi di sekolah belum dapat mewakili
pendidikan moral anak yang sedikit diselipkan disela-sela proses KBM berlangsung,
antusias anak usia dini yang cenderung lebih suka mengatakan hal yang baru
didengar dan dirasakan unik dan lucu untuk dikatakan. Atau sebagai proses
imitasi, kurangnya peran orangtua dalam membantu pendidik dalam hal pemberian
pendidikan karakter atau moral terhadap anaknya.
Menghadapi permasalahan pendidikan yang semakin mencemaskan bagi
perkembangan anak usia dini yang terkait dengan amburadulnya tata bahasa dan
perkembangan kognitif anak usia dini yang mengikuti pengaruh sosiokultural masa
kini yang sarat dengan dunia pergaulan orang-orang dewasa, maka diperlukan
adanya pembenahan pendidikan karakter anak yang lebih intens dan efektif
sebagai alat pemecahan permasalahan terhadap perkembangan tata bahasa
perkembangan kognitif anak usia dini di lingkungan yang berbeda pula. Sehingga
peneliti mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:
-
adakah perbedaanpengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa dan
kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakterantara TK se Kecamatan
Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Penelitian
kuantitatif adalah definisi, pengukuran data kuantitatif dan statistik objektif
melalui perhitungan ilmiah berasal dari sampel orang-orang atau peserta didik
yang diminta menjawab atas sejumlah pertanyaan tentang survei untuk menentukan
frekuensi dan persentase tanggapan mereka. Dengan metode penelitian kuantitatif
ini, peneliti menggunakan pendekatan secara kuantitatif statistik yakni
pendekatan yang berangkat dari suatu teori, gagasan para ahli ataupun
dikembangkan menjadi permasalahan yang diajukan untuk memperoleh kebenaran
dalam bentuk dukungan data empiris lapangan dan juga memerlukan analisis
statistik, yaitu dengan menggunakan angka-angka untuk mencapai kebenaran
hipotesis. Meskipun jenis penelitian ini kuantitatif namun tidak menafikan data
kualitatif sebagai pendukung data. Adapun sifat dari penelitian ini adalah
penelitian Ex-Post Facto atau mengenai sebab akibat. Keadaan
sosiokultural yang tidak terkontrol mengakibatkan perkembangan tata bahasa dan
perkembangan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter menjadi
bergeser dari tatanan konsep anak-anak.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan cara pengambilan sample
secara sederhana dan acak (Teknik Simple Random Sampling). Artinya
teknik pengambilan sampel dari populasi yang dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata dan umur yang ada dalam populasi itu. Karena setiap
anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk menjadi anggota sampel
dengan memberikan pertanyaan kepada pendidik melalui pemberian angket /
quesioner. Hal ini disebabkan karena anggota populasi bersifat homogen, yaitu
pendidik yang mengajar di TK saja. Jumlah sampel untuk pendidik TK se Kecamatan
Ngetos sebanyak 38 dan TK se Kecamatan Nganjuk sebanyak 67 pendidik. Dengan
jumlah populasi yang mencapai 60 pendidik dari TK se Kecamatan Ngetos dan TK se
Kecamatan Nganjuk jumlah populasinya sebanyak 203 pendidik. Sehingga jumlah
keseluruhan sampel dari jumlah populasi yang mencapai 263 adalah 105 pendidik.
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisa data statistik. Analisis statistik adalah dalam menganalisis
suatu data menggunakan dasar teknik dan tata kerja statistik.Untuk mengetahui
ada tidaknya perbedaan dan pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata
bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakterantara TK
se Kecamatan Nganjuk dan TK se Kecamatan Ngetos. Penelitian ini menggunakan
t-test dengan Pooled Varian dalam analisis datanya. Penelitian ini
mempunyai cadangan teknik analisis dengan menggunakan program komputer SPSS.
Teknik ini dilakukan apabila data di lapangan terlalu sulit untuk dianalisis.
Hasil Penelitian
Diketahui hasil penelitian bahwa terdapat pengaruh
sosiokultural pada tumbuh kembang peserta didik di lembaga pendidikan TK di
Kecamatan Nganjuk dan Kecamatan Ngetos. Meskipun terdapat perbedaan kuatnya
pengaruh sosiokulturalnya. Dan akan mendapatkan hasil yang berbeda apabila
pengaruh sosiokultural yang didapatkan berbeda daerahnya. Artinya, setiap
daerah memiliki sosiokultur sendiri yang membedakannya dengan daerah lainnya.
Maka setiap perilaku manusia yang berada dilingkungan dan budaya yang berbeda
akan menghasilkan pemikiran, cara dan gaya bicara, logat sikap , pola kehidupan
dan lainnya yang berbeda pula. Karena menurut Koentjaraningrat sosiokultur
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan proses
belajar yang didalamnya terdapat proses sosial seperti interaksi melalui
komunikasi. Sehingga sosiokultur merupakan produk manusia artinya kumpulan
seperangkat pengalaman manusia, maka selanjutnya akan menentukan pola dan gaya
hidup suatu masyarakat, baik mengenai bahasa maupun pola kehidupan di setiap
tempat. Menurut Vygotsky, sosiokultural lebih menekankan pada praktek-praktek
kultur dan sosial dalam lingkungan belajar serta pentingnya peran interaksi
sosial bagi perkembangan belajar seseorang. Lingkungan tersebut diartikan sebagai
lingkungan yang berada di kehidupan masyarakat, sekolah dan keluarga.
Menurut
Vygotsky, perkembangan anak usia dini akan mengalami kemajuan secara
baik apabila anak-anak tidak hanya bermain dengan alat-alat mainan yang ia
miliki, namun juga berinteraksi dengan lingkungan sekitar seperti berinteraksi
dengan orang yang lebih dewasa darinya dan teman sebayanya yang memiliki
pengetahuan yang lebih banyak darinya. Proses sosialisasi akan dapat membantu
anak-anak belajar melalui percakapan yang mereka praktekkan serta di lingkungan
sekolah yang didalamnya terdapat pendidik yang setiap saat pada jam sekolah
mendampingi dan membimbing peserta didik dalam belajar dan bermain sehingga
membantu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peserta didik. Dalam kondisi
yang demikian, Vygotsky menggunakan istilah zo-ped atau ZPD yang
digunakan untuk menggambarkan rentang situasi tertentu pada saat anak masih
dalam proses pembelajaran. Rentang tersebut berada diantara dua situasi yang
berbeda, yakni disaat anak melakukan kegiatannya sendirian kemudian mendapatkan
bantuan. Situasi tersebut memberikan peningkatan pada kemampuan peserta didik
saat mengalami kesulitan. Seperti saat anak kesulitan mewarnai gambar bunga.
Dengan melihat teman sebaya dan
berbicara pada pendidik tentang kesulitannya maka dalam daya spontannya,
peserta didik mampu menunjukkan hasil pekerjaannya dengan hasil yang lebih baik
daripada saat peserta didik melakukannya sendirian. Rentang waktu tersebut
dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil pengujian SPSS mengenai
perkembangan tatabahasa anak usia dini menunjukkan bahwa t-hitung lebih kecil
daripada t-tabel. Diketahui t-hitung sebesar -0,630 dengan Sig sebesar 0.531 lebih besar dari taraf signifikansi
sebesar 5% maka Ho diterima. Artinya tidak terdapat perbedaan perkembangan
tatabahasa anak usia dini antara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan
Ngetos. Maka dapat disimpulkan bahwa Hk ditolak dan Ho diterima.
Hasil yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan perkembangan tatabahasa anak usia dini antara TK se Kecamatan Nganjuk
dengan TK se Kecamatan Ngetos ini dapat diartikan bahwa perkembangan bahasa
pada anak usia dini sama-sama dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah dan lingkungan sekitar serta teknologi yang telah maju membuat
anak-anak tidak kesulitan mendapatkan kosakata baru seperti lagu anak-anak yang
diputar dengan produk teknologi canggih seperti VCD, Tape Recorder dan radio.
Perkembangan bahasa pada anak usia dini berkaitan
dengan segala bentuk komunikasi baik yang diutarakan dalam bentuk tulisan,
lisan, bahasa gerak tubuh, bahasa isyarat, banyaknya vocabulary (kosakata)
yang didapat serta pemahaman dan ekspresi wajah. Pada tahap perkembangan bahasa
yang sangat cepat pada anak usia dini, anak-anak banyak melakukan kegiatan
imitasi terhadap perilaku orang lain yang berada disekitarnya. Seperti peniruan
pada gaya bicara, kosakata yang baru dia dengar meskipun kosakata baru tersebut
tergolong kosakata yang belum pantas dikatakan oleh anak seusianya. Asumsi dari
Jean Piaget adalah dalam bahasa setiap individu terdapat egosentris. Dengan
menggunakan bahasanya sendiri individu membentuk skema dan mengubah skema.
Skema merupakan gambaran mengenai
kehidupan. Individu sendiri yang mengkonstruksikan pengetahuan ketika
berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapi. Dalam kondisi yang
demikian, peserta didik pada tingkat TK mengartikan bahasa yang mereka dengar
sebagai hal baru yang menarik untuknya dan dapat menarik perhatian orang lain
apabila mereka mengucapkannya. Tidak sepenuhnya diartikan secara benar seperti
pemahaman orang dewasa.
Pemahaman peserta didik terhadap bahasa bergantung
pada skema yang dibentuk sendiri oleh anak-anak. Dengan kata lain, peserta
didik pada usia TK mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain melalui daya
spontan mereka. Yakni menurut Vygotsky daya spontan diperoleh dari proses
belajar yang kemudian berkembang menjadi pengertian ilmiah. Juga diartikan
sebagai sikap reflek atau sikap spontanitas yang ditunjukkan untuk memahami
kosakata yang baru yang menghasilkan pengertian ilmiah. Pengertian ilmiah
merupakan kelanjutan proses belajar dari pengertian spontan. Dalam proses ini
anak usia dini dapat dikatakan sedang
melakukan kegiatan imitasi. Dalam
pandangan Vygotsky terhadap kepentingan perkembangan bahasa yang mana dapat
membantu anak mengatur dan mengkombinasi pengalaman. Maksudnya adalah anak
mampu mengembangkan konsep-konsep yang dibuat oleh masyarakat sekitar. Anak
menggunakan bahasa untuk memahami dan mengatur pengalaman-pengalaman mereka.
Karena bahasa merupakan faktor yang fundamental untuk berpikir. Berkomunikasi
dan berinteraksi dengan orang lain saat anak bermain sangat penting sebab anak
dalam proses ini sedang mengembangkan bahasa dan kemampuan berpikirnya dengan
orang dewasa dan teman sebaya yang lebih berkompeten.
Menurut
Mead, proses imitasi yang dilakukan oleh peserta didik berupa proses belajar
yang selalu menirukan kata yang baru mereka dengar dan menarik perhatian orang
lain. Proses imitasi ini masuk dalam tahap bermain (play stage) atau
fase kedua dari tahapan sosialisasi anak yang digagas oleh George Mead. Peserta
didik lebih senang menirukan. Proses ini berlangsung secara alamiah pada tahap
awal anak bersosialisasi yang digunakan untuk memahami bahasa sosial anak dan
meningkatkan perkembangan bahasa anak. Artinya, anak usia dini pada tingkat TK
hanya bisa menirukan saja tanpa memahami makna dan maksud dari perkataan dan
perbuatan yang mereka tirukan. Hasil yang diperoleh dari proses belajar adalah anak
belajar menjadi subjek sekaligus objek yang mulai mampu membangun diri. Hal ini
tercermin dari perilaku anak yang cenderung untuk meniru ataupun memainkan
peran orang lain pada dirinya.
Peserta didik mudah menirukan kata-kata buruk,
dari orang dewasa dan lingkungan. Penyebabnya adalah karena interaksi yang
dilakukan peserta didik tidak melulu didalam lingkungan sekolah saja. Tetapi
juga dilakukan di lingkungan sekitar mereka seperti keluarga, orang-orang
dewasa yang berada disekitarnya dan juga peran lingkungan itu sendiri dalam
mempengaruhi perkembangan bahasa anak usia dini. Karena dalam usia TK, peserta
didik memiliki peningkatan kemampuan bahasa yang sangat cepat. Meskipun mereka
hanya mampu mengartikannya melalui ekspresi yang mereka berikan. Sehingga anak
dapat konsisten menjalani nilai-nilai masyarakat yang diyakini. Kant meyatakan
bahwa kosakata yang dimiliki peserta didik akan memunculkan moralitas.
Akibatnya peserta didik mampu melahirkan rasa tanggung jawab dengan kemampuan
berpikir mereka yang masih sederhana.
Perkembangan bahasa anak usia dini banyak
dipengaruhi oleh lingkungan. Yakni lingkungan sekolah, lingkungan keluarga,
ataupun lingkungan sekitar.
Perkembangan kognitif pada setiap anak memiliki
perbedaan bergantung pada kondisi sosiokultural masing-masing tempat. Saat
perkembangan bahasa mnengalami peningkatan, perkembangan kognisi juga mengalami
peningkatan. Dengan demikian peningkatan perkembangan bahasa juga ditandai
dengan peningkatan perkembangan kognitif anak.
Kecapakan dalam berbahasa adalah salah satu penilaian dari peningkatan
perkembangan kognitif pada anak usia dini. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa t-hitung sebesar 2,439 dengan nilai Sig sebesar
0.017 lebih kecil dari 0,05 maka Ho ditolak. Dengan kata lain bahwa terdapat
perbedaan perkembangan kognitif anak di TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se
Kecamatan Ngetos.
Peningkatan perkembangan kognitif peserta
didik juga dapat dilihat melalui kesempatan peserta didik untuk belajar dan
berlatih. Apabila peserta didik kurang mendapatkan keterampilan mengeksplorasi
kemampuannya anak akan menjadi malas untuk belajar. Pada gilirannya, peserta
didik kurang mendapatkan motivasi untuk selalu belajar. Sehingga peserta didik
mengalami pertumbuhan yang lamban pada laju perkembangan kognitifnya.
Pemberian motivasi untuk selalu belajar
dan berlatih juga penting untuk diperhatikan karena perkembangan kognitif
peserta didik sangat penting bagi anak sebab untuk memenuhi kebutuhannya dalam
memanfaatkan serta menggali potensi yang ada pada peserta didik. Selain
pemberian motivasi, bimbingan juga diperlukan bagi peserta didik dalam
mengembangkan potensi mereka. Oleh karena itu pendidik dituntut untuk mampu
berdaya kreatif tinggi agar mampu memberikan contoh atau model yang benar
kepada peserta didik dalam proses belajar. Seperti untuk mendapatkan hasil
menggambar yang indah, pendidik selaku pembimbing di sekolah selalu melakukan
kontrol dan selalu mengamati gambar peserta didik serta mengarahkan peserta
didik dalam penggunaan warna digambar dengan daya imajinasi peserta didik.
Bimbingan ini dilakukan secara continue dan konsisten sehingga peserta
didik tidak merasakan kesulitan. Dalam posisi yang demikian, pendidik hanya
memberi dukungan.
Pendidik menyediakan pengalaman belajar
yang cukup untuk membantu peserta didik berpindah pada tahapan bermain yang
lebih tinggi. Tahapan bermain lebih tinggi diartikan Mead sebagai tahapan
ketiga dalam teori sosialisasinya yakni tahap bertindak atau tahap permainan.
Pada tahap ini peserta didik mulai mampu menemukan apa yang akan mereka
lakukan. Dalam hal ini peserta didik lah yang memiliki andil besar
dalam memutuskan warna apa yang akan dipakainya untuk memperindah hasil
gambarnya. Dalam posisi yang demikian,
Vygotsky menggunakan istilah ZPD (Zone of Proximal Development) atau zo-ped
yaitu suatu wilayah atau tempat bertemu antara pengertian spontan anak
dengan pengertian sitematis atau logis orang dewasayang dipakai untuk
menggambarkan rentang pembelajaran anak dalam situasi tertentu. Seperti halnya
contoh diatas yakni menggambar indah. Pada wilayah zo-ped ini,
pengertian spontan anak menunjukkan apa yang anak dapat saat bermain sendirian
dan pada pengertian ilmiah atau sistematis bahwa melalui bantuan pendidik,
peserta didik mampu menyelesaikan gambar yang dibuatnya. Hasilnya, peserta
didik dapat menunjukkan kemampuan mewarnai gambar pada tahapan yang lebih cepat
dan bagus daripada saat melakukannya sendirian.
Menurut Kant, karakter merupakan corak
pikiran seseorang atau disebut dengan denkungsart. Corak pikiran antara
satu anak dengan yang lainnya itu berbeda. Sehingga pendidik mempelajari
karakter peserta didik melalui cara yang berbeda-beda pula. Dan juga corak pikiran pada anak sulit
ditebak karena adanya kontrol yang kurang pada perilaku peserta didik. Setiap
sekolah memiliki konsep sendiri dalam menyampaikan pelajaran yang berkaitan
dengan pendidikan moral dan karakter.
Dari kedua tempat penelitian, peserta didik telah
mendapatkan pendidikan karakter secara langsung maupun secara tidak langsung di
sekolah mereka. Dekatnya lokasi Kecamatan Nganjuk dengan pemeritahan kota
Kabupaten Nganjuk juga memberikan suguhan yang berbeda pula dengan Kecamatan
Ngetos. Di Kecamatan Nganjuk banyak terdapat spanduk-spanduk di perempatan atau
pertigaan jalan raya yang mengajak masyarakatnya untuk menggalakan dan
memperhatikan pendidikan karakter pada anak-anak mereka yang masih kecil maupun
yang sudah dewasa. Seperti ajakkan untuk menciptakan kota Nganjuk yang
berwibawa, indah, bermartabat, dan sukseskan pendidikan karakter anak bangsa.
Selain adanya dorongan atau ajakan dari
pemerintah, lembaga sekolah juga telah menyampaikan pendidikan karakter melalui
pembiasaan atau perilaku sehari-hari pendidik yang memberikan contoh tauladannya
kepada peserta didik meskipun dirumah peserta didik juga mendapatkan perhatian
dari keluarga.
Alat pendukung yang dipakai dalam menyampaikan
pelajaran yang terkait dengan pendidikan karakter adalah majalah (LKS), gambar
dan pembelajaran dengan model bercerita. Lain halnya dengan proses penyampaian
pendidikan karakter di Kecamatan Ngetos. Disana pendidik berperan sebagai tokoh
utama dalam memberikan contoh sikap tauladan kepada peserta didik. Alat
pendukung yang sama dipakai juga oleh pendidik TK yang ada di Kecamatan Ngetos.
Tetapi, pendidik lebih bekerja keras. Karena kondisi sosiokultur yang berbeda
pula membuat walimurid sepenuhnya menitipkan anaknya untuk dibimbing secara
benar dan apik oleh pendidik. Melalui pembelajaran yang setiap hari dilakukan
di sekolah, seperti pembiasaan peserta didik untuk selalu tanggap dan sadar
membuang sampah pada tempatnya dan berdo’a sebelum makan, bersaing untuk
mendapatkan nilai atau menyelesaikan tuas yang diberikan oleh pendidik atau
yang lainnya yang setiap hari ditegaskan oleh pendidik dengan penyampaian yang
sesuai dengan pemahaman peserta didik yang masih sederhana. Hal tersebut juga
sesuai dengan grand design yang digagas oleh Kementerian Pendidikan
Nasional 2010 bahwa pendidikan karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural itu berkaitan dengan kepedulian sosial, aspek
kejujuran, mengajarkan olah pikir (kecerdasan, dan rasa ingin tahu yang besar),
olahraga dan Kinestetik (ketangguhan, keceriaan dan kompetitif). Sehingga
proses pembentukkan karakter pada peserta didik memerlukan waktu yang cukup
lama untuk menjadi anak yang berkarakter. Hal ini senada dengan Ratna Megawangi
yang menyebutkan bahwa karakter dapat dibentuk dengan baik melalui proses knowing
the good, loving the good, acting the good (suatu proses pendidikan yang
melibatkan aspek kognitif, emosi, kebiasaan dan fisik secara sistematis dan
gradual sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan anak ).
Pengaruh sosiokultural
terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak dalam konteks pendidikan
karakter merupakan inti permasalahan dari penelitian ini. Berdasarkan hasil
yang diperoleh, maka dapat diketahui bahwa secara keseluruhan berdasarkan uji
hipotesa yang sebelumnya yang terkait dengan sosiokultural, perkembangan
tatabahasa dan kognitif serta pendidikan karakter menjawab bahwa terdapat
sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak dalam konteks
pendidikan karakter. Namun, untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan
sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak dalam konteks
pendidikan karakter antara TK se Kecamatan Ngetos dengan TK se Kecamatan
Nganjuk diperlukan pengujian hipotesa lanjutan.
Berdasarkan hasil pengujian dengan SPSS
dapat diketahui bahwa t-hitung sebesar 2,206 dengan nilai Sig sebesar 0.031
lebih kecil dari ketentuan taraf signifikansi sebesar 5% maka Hk diterima dan
Ho ditolak. Artinya, terdapat perbedaan pengaruh sosiokultural terhadap
perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan
karakter antara TK se Kecamatan Ngetos
dengan TK se Kecamatan Nganjuk. Sehingga dapat menjawab dari hipotesa yang
telah diajukan sebelumnya.
Secara keseluruhan dapat diketahui hasil
dari uji SPSS bahwa terdapat perbedaan pengaruh sosiokultural terhadap
perkembangan tata bahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan
karakter antara TK se Kecamatan Ngetos
dengan TK se Kecamatan Nganjuk. Hal ini dapat dilihat dari letak geografis dan
sosiokultur yang berbeda antara kedua tempat meskipun teknologi maju sudah ada
di kedua tempat tersebut.
Menurut Vygotsky, perkembangan tatabahasa
anak yang juga berpengaruh pada perkembangan kognisinya dipengaruhi oleh
kuatnya peran lingkungan yang ada disekitar peserta didik. Karena menurutnya
gaya bicara, dan pola kehidupan yang berbeda pada kedua tempat tersebut juga
menyebabkan hasil pengaruh yang berbeda pula. Seperti yang diterangkan para
sosiokulturalis bahwa aktivitas di dalam lingkungan selalu dipengaruhi oleh
partisipasi seseorang dalam praktek kegiatan yang diorganisasikan secara
kultural, misalnnya dalam interaksi didalam ruang kelas. Anak usia dini pada
tingkat anak Taman Kanak-kanak (TK) berpartisipasi secara intens didalam kelas
maupun di luar kelas di lembaga sekolah. Interaksi anak-anak selalu dan sering
kali mendapatkan pengaruh dari lingkungan (sosiokultural). Di sini
sosiokultural dilihat sebagai produk manusia artinya kumpulan seperangkat
pengalaman manusia, maka sosiokultural itu selanjutnya akan menentukan pola dan
gaya hidup suatu masyarakat, baik mengenai bahasa maupun pola kehidupan secara
berkarakter sesuai dengan proses penggalakkan pendidikan karakter di
lembaga-lembaga sekolah berdasarkan sosiokulturalnya.
Dari hasil kuisioner yang diperolesh dari lapangan
terkait dengan pengaruh sosiokultural, perkembangan tatabahasa dan kognitif
anak usia dini serta pendidikan karakter memperlihatkan bahwa faktor-faktor
adanya perbedaan pengaruh sosiokulturalterhadap perkembangan tata bahasa dan
kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan karakter antara TK se
Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos yakni berdasarkan letak
geografis antara tempat satu dengan lain sudah menunjukkan perbedaan. Lingkungan
Kecamatan Nganjuk yang berada di pusat kota Kabupaten Nganjuk dengan fasilitas
yang cukup memadai seperti teknologi dan transportasi serta dekatnya lokasi TK
dengan swalayan, alun-alun, SMA/SMK dan pusat pemerintahan. Sistem beberapa
sekolah TK yang sudah menggunakan fullday School (yakni sekolah dengan
lama KBM dimulai pukul 07.30 WIB – 15.00 WIB) dan semi fullday School (yakni
sekolah dengan lama KBM dimulai pukul 07.30 WIB – 12.30 WIB) .Sedangkan
lingkungan Kecamatan Ngetos yang berada di kaki gunung Wilis membuat akses
perkembangan anak juga terhambat. Disana sulit transportasi dan jauh dari
perkotaan. Namun, interaksi peserta didik dengan lingkungan tetap berlangsung.
Dan TK di Kecamatan Ngetos belum menyediakan sekolah dengan sistem fullday
School.
Terlepas dari perbedaan yang ada. Berdasarkan temuan
data menunjukkan bahwa sosiokultural selalu berperan sebagai faktor utama dalam
perkembangan tatabahasa dan kognitif anak yang dapat terbaca oleh pendidik
sebagai orangtua kedua dari peserta didik didalam lingkungan sekolah. Sekitar
60-75 % waktu dalam sehari, anak-anak berada diluar rumah. Dalam waktu yang
tidak singkat, mereka habiskan untuk berada didalam lingkungan sekolah ataupun
lingkungan diluar rumah. Sehingga secara tidak langsung peserta didik dengan
baik berinteraksi dengan teman-temannya, pendidik dan warga sekitar meskipun
dalam tatanan perilaku dan bahasa yang kurang tepat pemakaiannnya juga dalam
hal pembentukan karakter anak.(2) Teknologi yang telah lebih maju, sarana
pendukung yang banyak dan tersedia yang dapat mempercepat tumbuh kembang anak
dalam hal kemampuan (skill) dalam aspek tatabahasa dan kognitif. Media
teknologi sebagai media pendukung merupakan sarana pendukung bagi perkembangan
tumbuh kembang anak. Dengan menggunakan media pendukung selain lingkungan
interaksi, teknologi dipandang sebagai media pendukung yang pas karena mudah
didapat dan dioperasikan oleh anak-anak. Sehingga tidak mengherankan apabila
anak usia dini pada zaman sekarang mampu berkata dan berperilaku yang identik dengan
perkatan dan perilaku yang mereka lihat dan dengar melalui media pendukung
(VCD, TV, dan Tape Recorder). (3) Praktek imitasi yang dilakukan peserta didik
sangat kuat. Sehingga peserta didik lebih suka menirukan gaya orang lain. dan
(4) Kurang adanya kontrol diri pada peserta didik. Karena kurang adanya
perhatian dari orang tua menjadi alasan utama. Dan didukung dengan emsoional
atau sifat egoisme peserta didik yang masih tinggi.
PENUTUP
·
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil kuisioner dari lapangan yang telah dioperasikan melalui sistem
komputerisasi program SPSS menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh
sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak dalam konteks
pendidikan karakter juga terdapat perbedaan antara dua tempat yang menjadi
lokasi penelitian yakni Kecamatan Nganjuk dan Kecamatan Ngetos. Berikut rincian
kesimpulan berdasarkan pengujian hipotesa per variabel.
o
Varibel
x (pengaruh sosiokultural)
o
Dari
hasil pengujian SPSS dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh
sosiokultural antara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos.
o
Variabel
antara I
o
Pada
variabel antara I ini menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan
perkembangan tatabahasa anak usia dini antaraTK se Kecamatan Nganjuk dengan TK
se Kecamatan Ngetos. Namun tidak mempengaruhi hasil akhir yang menunjukkan
adanya perbedaan perkembangan tatabahasa anak usia dini antara TK se Kecamatan
Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos.
o
Varibel
antara II
o
Pada
variabel antaraII ini menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan perkembangan
kognitif anak usia dini antaraTK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan
Ngetos.
o
Variabel
y (pendidikan karakter)
o
Berdasarkan
uji SPSS dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendidikan karakter anak
usia dini antara TK se Kecamatan Nganjuk dengan TK se Kecamatan Ngetos.
Dari data kuantitatif yang ditemukan
di lapangan, terdapat faktor-faktor adanya pengaruh sosiokultural terhadap
perkembangan tatabahasa dan kognitif anak usia dini dalam konteks pendidikan
karakter sebagai berikut :
o
Interaksi
peserta didik atau proses sosialisasi berlangsung sebanyak 60-75% waktu dalam
sehari dihabiskan di lingkungan sekolah maupun diluar rumah.
o
Teknologi
yang sudah maju.
o
Praktek
imitasi yang kuat
o
Kurang
adanya perhatian dari orangtua.
o
Emosi
dan sifat egoisme yang masih tinggi.
Dan faktor-faktor adanya perbedaan pengaruh
sosiokultural terhadap perkembangan tatabahasa dan kognitif anak usia dini
dalam konteks pendidikan karakter sebagai berikut:
o
Lingkungan
Kecamatan Nganjuk yang berada di pusat kota Kabupaten Nganjuk dengan fasilitas
yang cukup memadai seperti teknologi dan transportasi serta dekatnya lokasi TK
dengan swalayan, alun-alun, SMA/SMK dan pusat pemerintahan.
o
Lingkungan
Kecamatan Ngetos yang berada di kaki gunung Wilis membuat akses perkembangan
anak juga terhambat. Disana sulit transportasi dan jauh dari perkotaan. Namun,
interaksi peserta didik dengan lingkungan tetap berlangsung.
·
SARAN
Berdasarkan penelitian yang sudah
dilakukan dengan judul pengaruh sosiokultural terhadap perkembangan tata bahasa
dan kognitif anak usia dini dalam konteks oendidikan karakter maka penulis
memberikan saran untuk proses pendidikan ke depan:
o
Bahwa
sudah saatnya pendidikan karakter memiliki jam pengajaran sendiri secara
sistematis.
o
Proses
penggalakan pendidikan karakter yang masih kurang di daerah-daerah seperti
Kecamatan Ngetos membuat para orangtua belum sepenuhnya tahu mengenai
pentingnya pendidikan karakter dalam perkembangan tatabahasa dan kognitif anak
usia dini.
o
Bagi
pendidik yang sebagai teladan, juga dianggap sebagai fasilitator. Sehingga
pendidik dituntut untuk mampu menyampaikan basic pendidikan karakter pada
peserta didik.